MAKALAH FIQH MAWARITS
Tirkah dan
Permasalahannya
Disusun Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqh Mawarits
dosen pengajar: Dr. H. Yusuf Somawinata M.Ag.
*catatan : dilarang keras memplagiasi, menulis ulang tulisan ini tanpa sumber.
Disusun
oleh kelompok IV :
1. Nadya Nurul Hidayah
151100383
2. Dianatul Mahmudah 151100385
3. Fahrurozi 151100386
4. Irfan Izzudin 151100390
5. Khairul umam 151100393
HUKUM KELUARGA
– A/IV
FAKULTAS
SYARIAH
IAIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika seseorang
meninggalkan dunia ini maka akan meninggalkan juga berbagai hak dan kewajiban
bagi umat muslim terutama ahli waris dari orang itu. Dalam bahasa arab disebut
tirkah yang berarti peninggalan. Peninggalan ini bisa berupa hak-hak dan
kewajiban bagi ahli waris ataupun umat islam secara umum.
Hak hak itu berupa pengurusan jenazah, harta warisan, wasiat, dan
hutang-hutang mayit. Hal itu harus di penuhi karena dasar hukum nya sudah jelas
tertera dalam Al-qur’an dn hadits.
Selain itu masalah ini adalah yang paling pokok dari manusia ketika sudah
meninggalkan dunia ini, dan menjadi kewajiban bagi ahli waris dan umat muslim
lainnya untuk menegakan dan menjalankan msalah masalah ini dalam ruang lingkup
pribadi dan masyarakat umum.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas bisa kita dapatkan rumusan masalah
makalah ini sebagai berikut:
a. Apa itu Tirkah?
b. Bagaimana
bagian-bagian tirkah?
c. Apa pandangan para
ulama tentang bagian-bagian tirkah ini?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas bisa kita ketahui tujuan makalah ini
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui
tentang tirkah.
b. Untuk mengetahui
tentang bagian-bagian masalah Tirkah.
c. Untuk mengetahui
pandangan para ulama tentang bagian-bagian permasalahan tirkah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tirkah
Kata tirkah diambil dari bahasa arab sebagai bentuk masdar(nominal)
bermakna maf’ul (objek) yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
menjadi peninggalan. Maka dari itu dapat kita ketahui bahwa tirkah bisa
berarti segala sesuatu yng ditinggalkan oleh mayit, lalu peninggalan dari mayit
itu menjadi tanggung jawab keluarga yang ditinggalknnya yaitu ahli waris.
2.2 Jenis-Jenis Masalah
Tirkah.
Maka dari itu bisa kita ketahui tirkah itu merupakan peninggalan
mayit sehingga mencakup 4 hal yang penting seperti :
1.
Kebendaan, baik itu merupakan benda
bergerak atau benda tetap
2.
Hak-hak yang mempunyai nilai
kebendaan, contohnya hak monopoli untuk benda yang digunakan dan menarik hasil
dari suatu jalan, sumber air minum dan lain sebagainya. Termasuk juga hak
kemanfaatan, seperti barang yang digadai atau dipinjam. Hak yang bukan
kebendaan seperti hak syuf’ah (hak yang digunakan untuk membeli pada seorang
anggota organisasi atas tanah pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh
anggota organisasi yang lain) dan hak khiar, terutama khiar syarat.
3.
Sesuatu yang dilakukan oleh mayit
sebelum dia meninggal dunia, seperti khamar yang telah menjadi cuka setelah dia
wafat, dan jerat yang menghasilkan binatang buruan, setelah dirinya meninggal
dunia. Keduanya dapat diwariskan kepada ahli waris si mayit.
4.
Diyat(benda) yang dibayar oleh
pembunuh yang melakukan pembunuhan karena khilaf. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang lebih kuat; memasukkan diyat kedalam kepemilikan mayit sebelum
matinya.
Pengarang kitab al-‘adzb al-Fa’idh memberikan definisi tirkah
sebagai “ sesuatu yang ditingalkan oleh mayit, berupa harta,diyat yang diambil
dari pembununhnya, karena masuk kategori harta miliknya menurut perkiraan, atau
berupa haq, seperti hak khiar, syuf’ah, qishas, had, dan qadzaf. Adapun tirkah
yang khusus, seperti pupuk dan sajadah yang digunakan untuk shalat.
Kemudian dari uraian diatas maka kita bisa ambil kesimpulan bahwa
jenis-jenis masalah tirkah sebagai berikut :
1)
biaya-biaya perawatan mayit
2)
hak-hak yang terkait dengan harta
waris.
3)
Utang-utang mursalah.
4)
Wasiat.
5)
Harta waris.
Berikut ini
uraian kelima masalah diatas.
1)
Biaya-Biaya Perawatan dan Penguburan
Mayit
Hal pertama yang menjadi keharusan ialah bahwa biaya-biaya
perawatan mayit diambiln dari harta peninggalan mayit diambil dari harta
peninggalan mayit menurut ukuran yang wajar, tidak berlebih-lebihan. Karena
Allah tidak menyukai hal-hal yn berlebihan, dan sikap berlebihan merupakan
sifatnya setan karena Allah menjelaskan bahwa sikap berlebihan adalah
saudaranya setan yng berarti salah satu sifat syetan dlah berebihan dalam surah
Al-Israa ayat 27.
·
Biaya perawatan jenazah istri
Dalam
buku HUKUM WARIS yang disusun
oleh komite fakultas syriah Universitas Al-Azhar, mesir halaman 70 dijelaskan.
a)
Kalangan hanafiyah berpendapat bahwa
biaya perawatan jenazah istri secar mutlak dibebankan kepada harta kekayaan
suami, baik dalam keadaan mampu melunasi atau tidak.
b)
Kalanga Syafi’iyah berpendapat,
pembiayaan perawatan jenazah istri ditanggung oleh suami bilamana suami mampu
membiayainya. Akan tetapi,jika suami dalam keadaan pailit, maka pembiayaan
tersebut menjadi tidak wajib baginya. Dengan demikian, biaya perawatan diambil
dari asal tirkah-nya, bukan dari harta waris.
Dari
pendapat pertama dan kedua dapat disimpulkan bhw hubunn perkawinan diantara
mereka masih ada. Karenanya, suami dapat mewarisi dan memandikan jenazah
istrinya.
c)
Kalangan Malikiyah dan Hanbaliyah
berpendapat, suami tidak wajib membiayai perawatan jenazah istrinya dan
mengafaninya. Semua biaya perawatan yang berhubungan dengan jenazah dimbil dari
harta istri, baik dalam keadaaan mampu untuk melunasi atau tidak, dan sama
halnya istri seorang yang kaya ataupun fakir, karena hartanya yang berasal dari
nafkah suami telah terputus akibat kematiannya. Pemberian nafkah adalah sebuah
imbalan hak seksual.
Seandainya,
perempuan itu tidk memiiki harta, maka biaya perawatan mayitnya dilimpahkan
kepada orang yang wajib menafkahinya semasa dia hidup. Apabila perempuan
tersebut tidak mempunyai orang yang menafkahinya semasa hidup, ik dia muslimah,
yakni menjadi tanggungan bersama.
2)
Hak-hak yang terkait dengan harta
waris.
Termasuk dalam hak-hak ini adalah utang yang digadaikan, diyah
jinayah (denda tindakan kriminal) seorang budak, dan zakat yang diwajibkan pda
harta benda sebelum menjadi harta tirkah.
Menurut kalangan Hanabilah, utang-utang ini erat kaitannya dengan
harta waris dimana pelaksanaannya seteh pembiayaan untuk si mayit dikeluarkan.
Karena menutup aurat semasa hidup adalah kewajiban maka sama halnya ketika
sudah meninggal.
٩٣٦٣. عن جا بر, ان اباه
تو في, و عليه د ين, فئا تيت النبي صلى الله عليه و سلم, فقلت: يا ر سو ل الله! ان
ابي تو في, و عليه دين, و لم يترك الا ما يخر ج نخله, و لا يبلغ ما يخر ج نخله ما عليه
من الذي دون سنين, فت نطلق معي يا ر سول الله, لكيى لا يفحش علي الغرام. فا تى ر سول
الله عليه صلى الله عليه و سلم يدور بيدرا بيدار, فسلم حو له, و د عا له, ثم جلس عليه,
ودعا الغرام فاوفاهم و بقي مثل ما اخذوا.
3639.Dari Jabir bahwasanya ayahnya meninggal dunia dengan
meninggalkan utang, maka aku menemui Nabi SAW dan berkata, "Wahai
Rasulullah !sesungguhnya ayahku telah meninggal dunia sedangkan ia mempunyai
utang, dan ia tidak meninggalkan seauatu pun kecuali pohon kurmanya, dan kurma
yang keluar tidak sampai pada jumlah utangnya, kecuali setelah beberapa tahun.
Maka, pergilah bersamaku, wahai Rasulullah , agar orang-orang yang mengutangi
tidak berbuat jahat kepadaku!" Maka. Rasulullah SAW datang mengitari
kumpulan kurma. Beliau mengucapkan salam di sekitarnya dan berdoa untuknya,
lalu duduk diatasnya,. Setelah itu, beliau memanggil mereka yang mengutangi dan
melunasi merwka, sedangkan kurmanya masih tersisa seperti yang mereka ambil.
Shahih:Al Bukhari
٣٤٦٣.عن جا بر بن عبد
الله, قال: توفي ابي وعليه دين فعرضت على غرمائه ان تا خذوا ااثمرة بما عليه, فابوا,
ولم يروافيه وفاء, فا تيت رسول الله صلىالله عليه وسلم , فذ كرت ذلك له. قال: اذاخددته
فو ضعته في المر بد فا ذ ني, فلما جددته ووضعته في المربد, اتيت رسو لالله صلى الله
عليه وسلم, فجاء ومعه ابو بكر, وعمر. فجلس عليه ود عا باللبركة, ثم قال: ادع غر ماءك
فاوفهم. قال:فما تركت احداله على ابي دين, الا قضيته, وفضل لي ثلاثة عشر وسقا, فذكرت
ذلك له, فضحك. وقال:ائت ابا بكر و عمر, فاخبر هما ذ لك, فا تيت ابا بكر و عمر, فاخبر
تهما, فقالا:قد علمنا اذ صنع رسو ل الله صلى الله عليه ويلم ما صنع انه سيكون ذلك.
3642. Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata: ayahku meninggal dunia
dan ia punya utang, kemudian aku memperlihatkan mereka yang mengutangi untuk
mengbil buah-buahan yang ada di kebunnya, namun mereka menolak karena mereka
melihat tidak akan menculupi. Lalu aku datang kepada Rasulullah SAW dan
menvaritakan halbiti. Beliau bersabda, "jika kamu memanen, maka letakan di
sebuah wadah, lalu beritahulah aku!" Setelah aku panem dan aku letakan di
sebuah wadah, kemudian aku menemui Rasulullah SAW. Beliau datang bersama Abu
Bakar dan Umar, kemudian beliau duduk di atasnya seraya mendoakan keberkahan.
Lalu beliau bersabda, "panggillah orang-oranh yang mengutangi iti, lalu
lunasilah!" Ia berkata: maka, tidaklah aku meninggalkan serangpun yang
mengutangi ayahku melainkan aku melunasi. Dan masih tersisa tiga belas wasaq.
Lalu aku menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau tertawa dan bersabda,
" Datangilah Abu Bakar dan Umar, kemudian
ceritakan hal iti kepada mereka." Aku pun mendatangi Abu Bakar dan
Umar serta menceritakan kejadian itu kepada mereka, maka mereka berkata,
"maka telah mengetahui jika Rasulullah SAW melakukan apa yang beliau
lakukan kemarin maka akan terjadi seperti iti."
Shahih:Ibnu Majah (2434) dan Al Bukhari.
Di dalam ruang lingkup kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah berpendapat bahwa hak-hak yang terkait dengan warisan didahulukan
daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk mayit.
3)
Utang-Utang Mursalah
Adapun yang
dimaksud dengan utang-utang mursalah adalah utang-utang mutlaqah,
yakni utang yang tidak berkitan dengan wujud harta peninggalan, tetapi
berkaitan langsung dengan tanggungan si mayit.
Utang orang
yang meninggal secara garis besar dapat dikelompok kan kepada dua kelompok,
yaitu:
1. Utang kepada Allah, yaitu
kewajiban-kewajiban agama dalam bentuk materi yang telah wajib dilaksanakan
selagi hidup tetapi belum dilakukan sebelum ia meninggal, seperti zakat,
kaffarah dan nazar yang belum dilaksanakan.
2. Utang kepada sesama manusia, yaitu
utang yang dibuat oleh yang meninggal sebelum meninggal atau hak orang lain
yang ada di tangannya;barang orang lain yang belum diserahkan sebelum
meninggalnya. Utang kepada sesama manusisa dibagi kepada beberapa macam:
• Utang yang menyangkut dengan benda milik
seseorang yang ada padanya sebelum meninggal dan masih utuh sebagaimana adanya
sesudah meninggalnya, seperti titipan, barang jaminan dan barang yang dibelinya
dan belum sempat dibayar sebelumnya.
• Utang dalam bentuk tanggung jawab yang belum
dibayarnya seperti uang yang dipinjamnya waktu masih sehat.
• Utang dalam bentuk tanggung jawab yang
dibuatnya yang dekat kematiannya.(al-Syaiba’iy dan al-Sabuniy,op
cit,hlm.:380)pemisahan utang yang dibuat pada
saat masih sehat atau sakit menjelang kematian, hanya berlaku dikalangan
ulama Hanafi dan tidak dikenal dikalangan ulama Jumhuar.(Ibid.hlm.:383)
Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara
terperinci tentang utang dan juga tidak dijelaskan urutan pembayarannya. Oleh
karena itu terdapat perbedaan dikalangan ulama mujtahid sebagaimana kelihatan
dalam berbagai versi fikih. Di anatara utang yang harus dilakukan palinga awal
ialah utang dalam bentuk benda milik orang lain yang masish utuh berada
ditangannya, karena pad hakikatnya harta tersebut masih utuh milik pemilik
asalnya. Inilah pendapat yang dipegang ulama jumhur.bahkan diantaranya
berpendapat bahwa utang dalam bentuk ini tidak dapat digunakan untuk pembayaran
biaya jenazah dan harus didahulukan dari biaya jenazah. (Syarbaini Khatib,op
cit,hlm.:4)
Adapun utang
kepada Allah, menurut jumhur ulama termasuk Zhahiri, wajib didahulukan atas
utang yang lain. Dasar dari pendapat ini adalah hadits Nabi dari Ibnu Abbas
menurut riwayat Bukhari dan Muslim. (terdapat dalam Shahih Bukhari, III,
hlm.:46) yang mengatakan bahwa utang kepada Allah tidak wajib dibayarkan kecuali
bila ada wasiat dari pewaris yang dibuatnya sebelum meninggal. Utang dalam
bentuk ini pembayarannya diperhitungkan dari jumlah wasiat. (Ibnu Abidin, op
cit, hlm.:760) alas an dari kelompok ini ialah bahwa segala sangkut paut dengan
kewajiban terhadap Allah akan berakhir dengan kematian, karena dengan kematin
gugurlah segala bentuk kewajiban kepada Allah.
Bila utang itu cukup besar
sehingga menghabiskan semua harta peninggalan, maka semua harta dikeluarkan
untuk melunasinya. Bila harta peninggalan tidak cukup untuk membayar utang,
maka sekadar peninggalan yang ada dibagikan kepada para pemberi utang sesuai
dengan kadar piutangnya tanpa memberatkan kekurangan itu kepada ahli warisnya.
Bila diperhatikan hadits Nabi
dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhari dan Muslim yang mengatakan bahwa
beliau akan membayarkan utang orang yang tidak sanggup membayarnya (hadits
nomor 10) maka dapat dipahami bahwa kekurangan harta pembayar utang itu
dibebankan kepada baitul mal. Ini adalah ajaran paling baik yang diberikan Nabi
untuk tidak merugikan para pemberi utang dan juga tidak memberatkan kepada ahli
waris; sedangkan yang meninggal telah bebas dari tanggung jawab utangnya.
Tersangkutnya kewajiban seseorang
telah mati pas pelunasan utangnya dapat pula dipahami dari hadits Nabi dari
Jabir menurut riwayat Ahmad dan Daud yang menyatakan bahwa Nabi tidak mau
menjadi imam shalat jenazah seseorang yang berutang sampai ada orang yang
melunasi utangnya itu. (al-Nasai, Sunan al-Nasai IV, hlm.:221)
a)
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa utang sesama manusia pelunasannya lebih didahulukan. Sebab,
manusia sangat memerlukan untuk dilunasi piutangnya, sedangkan Allah SWT.
Adalah Zat yang sudaah cukup, sehingga tidak perlu pelunasan kepada-Nya.
b)
Kalangan Syafi’iyah berpendapat,
menurut pendapat yang shahih, yang harus didahulukan adalah utng kepada Allah
dibndingkan hak kepada sesama manusia, sesuai dengan sabda Nabi SAW.
c)
Kalangan Hambaliyyah berpendapat
bahwa kedudukan pelunasan utang terhadap Allah sama dengan pelunasan utang
terhadap Allah sama dengan pelunasan utang terhadap manusia.
4)
Wasiat
Para ulama telah sepakat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris
adalah haram. Karena Allah telah menetapkan faraidh(warisan).
“...Tetapi jika sudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris dengan berwasiat yang bertentangan dengan ketentuan ini).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai). Syariat yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Hukum-hukum tersebut)
itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Siapa taat kepada Allah dan
rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
dia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’ [4]:
12—14)
Dengan dasar hukum ayat diatas, dapat kita ketahui bahwa
menjalankan wasiat untuk ahli waris berarti sama saja melanggar perintah Allah
SWT yang mengatakan bahwa wasiat tidak diberikan kepada ahli wris kecuali
semuanya telah setuju. Seperti yang dijelaskan pada hadits berikut:
“wasiat tidak ditujukan kepada salah satu ahli waris, melainkan
bia semua ahli waris menghendakinya.” (HR AD-DARQUTHNI)
Adapun wasiat untuk selain ahli waris, hukumnya boleh dan sah.
Jumlahnya adalah sepertiga, seperti yang dijelaskan oleh hadits berikut.
٣٦٣.عن سعد, قا ل: كا
ن النبي صلى الله عليه و سلم يعو ى ه و هو بمكة, وهو يكر ه ان يموت با لارض الذي ها
جر منها, قا ل النبي صلى الله عليه و سلم: ر حم الله سعد ا بن عفراء, او ير حم الله
سعد ابن عفراء ولم يكن له اله ا لا ابنه وا حدة, قا ل: يا رسو ل الله او صي بما لي كله؟ قا ل: لا, قلت: الصف قا ل: لا,
قلت: فا لثلث؟ قا ل: الثلث, و الثلث كثتر, انك ان تد ع ور ثتك اغنيا ء خير من ان تد
عهم عا لة يتكففو ن النا شظس ما في ايديهم.
2630.Dari Sa'd, ia mengatakan bahwa nabi SAW menjenguknya ketika ia
sedang di MAakkah, dan ia tidak suka jika sampai meninggal dunia di tempat ia
hijrah darinya. Nabi SAW beraabda, "Semoga allah merahmati Sa'd bin
Afra'!" Ia tidak memiliki kecuali seorang anak perempuan, ia bertanya,
"Wahai Rasulullah !bolehkah aku mewasiatkan seluruh hartaku?" Beliau
menjawab, "tidak boleh."Aku berkata, "kalau begitu
sepertihanya?" Beliau bersabda,
"ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka
dalam keadaan fakir meminta-minta kepada manusia apa yang ada di tangan
mereka."
Mengeluarkan wasiat dari jumlah harta peninggalan merupakan tindakan
lnjutan sesudah membayar biaya pengurusan jenazah dan dipertanyakan yaitu
apakah atas sepertiga itu dari seluruh harta yang tinggal atau sisa harta
sesudah dikeluarkan semua kewajiban sebelumnya. Pertanyaan ini akan sangat signifikan bila harta yang
ditinggalkan tidak banyak.
Hadits Nabi
yang memberi batas sepertiga itu tidak memberikan penjelasan secara terperinci.
Sungguh pun demikian dengan memperhatikan penjelasan Nabi dalam memberi batas
sepertiga itu, dapat ditemukan bahwa alasan pembatasan tersebut adalah agar
tidak menghilangkan atau mengurangi hak ahli waris. Kemudian dengan
memperhatikan bahwa yang dimaksud dengan harta seseorang ialah harta sendiri
sudah dikurangi hak orang lain yang melekat padanya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan batas sepertiga itu ialah sepertiga dari
harta yang tinggal sesudah dikeluarkan biaya jenazah dan utang-utang, bukan
sepertiga dari keseluruhan harta.
Persoalan ini
akan lebih jelas dalam contoh sebagai berikut: bila biaya jenazah menghabisi
sepertiga harta, utang yang dibayar juga menghabiskan sepertiga harta, maka
yang ditinggal lagi adalah sepertiga harta. Bila yang dimaksud dengan batas
sepertiga wasiat itu adalah sepertiga seluruh harta, maka yang ditinggal hanya
untuk wasiat saja dan tidak ada sedikitpun untuk ahli warisnya. Hal ini tidak
selaras dengan tujuan Nabi dalam pembatasan wasiat dan tidak selaras pula
dengan maksud Allah dalam surah al-Nisa ayat 9 tersebut diatas. Bila dipahami
batas sepertiga itu adalah sisa harta yang sepertiga itu, maka kewajiban wasiat
hanyalah 1/3 dari 1/3 yaitu 1/9. Dengan cara ini ahli waris ini masih
memperoleh sisanya sebanyak 2/9 dari seluruh harta. Ulama Hanafi menegaskan
bahwa yang dimakasud dengan sepertiga batas wasiat itu adalah sepertiga dari
sisa harta setelah dikeluarkan untuk biaya jenazah dan utang.(Inbu Abidin,op
cit,hlm.:761)
Dengan telah
diserahkannya wasiat kepada yang berhak menerimanya, maka secara hukum
kewajiban terhadap harta sebagaimana yang dituntut Allah telsh terpenuhi. Namun
perlu diperhatikan selanjutnya keterkaitan harta itu dengan hak orang lain
diluar dua hal tersebut diatas, seperti hak syarikat dalam harta yang dimiliki
dan bersama dalam harta yang sedang digunakan, termasuk harta bersama
perkawinan.
Syarikat dalam
pengertian Islam adalah usaha bersama dua orang atau lebih dalam mendapatkan
keuntungan yang akan dibagi bersama di antaranya. Bentuk syarikat yang
dibenarkan dalam Islam ada beberapa macam. Pertama, kerjasama antara pemilik
tanah dengan orang yang mengolah tanah tersebut yang dinamai al-muzara’a;
kedua, atara pemilik modal dengan orang yang menjualkan modal itu disebut
mudharabah; ketiga, kerjasama dalam pekerjaan untuk mendapatkan upah dan jasa,
yang disebut syirkah abdan; keempat, kerjasama dalam usaha dan modal, yang
disebut syirkah ‘inan. Bentuk lain yang dapat mengikuti prinsip dari empat
bentuk disebutkan diatas. Dalam semua bentuk syarikat itu pada percampuran
harta yang harus diselesaikan bila terjadi kematian untuk mencari kejelasan
mana harta orang yang meninggal sebagai pemiliknya secara penuh.
Disamping
adanya harta bersama dalam status syarikat, terdapat pula pemilikan bersama
atas harta, sebagaimana yang berlaku pada harta atau tanah pusaka dalam
lingkungan adat minagkabau. Dalam pandangan adat harta pusaka itu adalah harta
bersama dari suatu kaum, yang dalam pengusahaan sehari-hari berbeda ditangan
salah seorang atau beberapa orang anggota kaum, yang ia dapatkan secara ganggam
bauntuak atau hak pakai kaum. Ia dapat menggunakan dan mengolah tetapi tidak
dapat memilikinya secara perorangan. Dalam ketentuan adat bila ia mati harta
itu kembali kepada kaum, sebagaimana tercermin dalam pepatah adat: kabau tagak
kubangan tinga yang berarti kalau ia pergi (meninggal) maka harta tinggal
ditempatnya. Hal ini mengandung arti harta pusaka dikeluarkan dari lingkup
harta seseorang pada saat kematiannya dalam rangka membersihkan hartanya dari
dari keterkaitannya dengan hak orang lain.
Bentuk
pemilikian bersama lainnya adalah harta bersama perkawinan yang dalam UU NO.1
tahun 1974 Pasal 135 ayat (1) dijelaskan; “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama” yang bila terjadi perceraian harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam pasal 37.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 196 ayat (1) sebagai penjelasan dari
UU ini menetapkan “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih”.
Hal-hal
disebutkan diatas merupakan usaha tambahan yang harus dilakukan dalam rangka
memurnikan harta untuk dapat dijadikan harta pusaka yang akan dibagikan dikalangan
ahli waris.
5)
Harta Waris.
Harta waris adalah harta yang ditinggalkan mayit dan berpindah
haknya kepada ahli waris.
٣٦٣.عن سعد, قا ل: كا
ن النبي صلى الله عليه و سلم يعو ى ه و هو بمكة, وهو يكر ه ان يموت با لارض الذي ها
جر منها, قا ل النبي صلى الله عليه و سلم: ر حم الله سعد ا بن عفراء, او ير حم الله
سعد ابن عفراء ولم يكن له اله ا لا ابنه وا حدة, قا ل: يا رسو ل الله او صي بما لي كله؟ قا ل: لا, قلت: الصف قا ل: لا,
قلت: فا لثلث؟ قا ل: الثلث, و الثلث كثتر, انك ان تد ع ور ثتك اغنيا ء خير من ان تد
عهم عا لة يتكففو ن النا شظس ما في ايديهم.
2630.Dari Sa'd, ia mengatakan bahwa nabi SAW menjenguknya ketika ia
sedang di MAakkah, dan ia tidak suka jika sampai meninggal dunia di tempat ia
hijrah darinya. Nabi SAW beraabda, "Semoga allah merahmati Sa'd bin
Afra'!" Ia tidak memiliki kecuali seorang anak perempuan, ia bertanya,
"Wahai Rasulullah !bolehkah aku mewasiatkan seluruh hartaku?" Beliau
menjawab, "tidak boleh."Aku berkata, "kalau begitu
sepertihanya?" Beliau bersabda,
"ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka
dalam keadaan fakir meminta-minta kepada manusia apa yang ada di tangan
mereka."
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan pokok-pokok kewarisan dan hak-hak
ahli waris menurut bagian yang tertentu. Walaupun ungkapn dan gaya bahasa yang
digunakan Allah SWT. Dalam al-Qur’an untuk menjelaskan hukumnya adalah dalam
bentuk berita, namun ditinjau dari segi bahwa ketentuan Allah bersifat
normatif, maka adalah harus ahli waris atau orang lain yang ikut menyelesaikan
pembagian warisan untuk mengikuti norma yang telah ditetapkan Allah tersebut.
Setelah kewajiban terhadap harta yang ditinggalkan telah
dilaksanakan sebagaimana dijelaskan sebelum ini dan ternyata masih ada harta
yang tersisa, maka harta yang tersisa itu menjadi hak penuh bagi ahli waris.
Sebelum langsung membagikan harta warisan untuk ahli waris masih
ada suatu tindakan sukarela dari pihak yang memiliki penuh harta tersebut,
yaitu memberi ala kadarnya kepada pihak-pihak yang tidak berhak atas harta itu
secara kewarisan. Tindakan yang bersifat sukarela itu dijelaskan Allah SWT.
Dalam surah al-Nisa(4) ayat 8 yang berbunyi:
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُوالْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِيْنُ فَارْزُقُوهُمْ مِّنْهُ
“Dan apabila sebagian pembagian itu hadir kerabat, atau anak yatim
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya)”.
Ahli tafsir berselisih pendapat jika ayat 8 tersebut dihubungkan
kepada ayat yang menyatakan bahwa harta warisan itu adalah hak ahli waris.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat 8 itu tidak berlaku lagi dengan
adanya ayat 11 surah al-Nisa’. Pendapat ini dipegang oleh Sa’id bin Musayyab,
Malik, ‘Ikrimah dan al-Dahhaq. Ahli tafsir lain berpendapat bahwa ayat 8 surah
al-NIsa’ itu masih berlaku disamping ayat 11. (al-Qurthubiy, op cit, hlm.: 118)
Atas dasar pendapat yng
kedua tersebut diatas dan seandainya harta cukup banyak, maka pada ahli waris
dianjurkan untuk memberikan sepatutnya kepada orang yang hadir waktu bagian
warisan tersebut. Bahkan ulama Zhahiri menyatakan bahwa pemberian untuk hadir
itu hukumnya wajib. (Ibnu Hazm, op cit, hlm.:310-311) Seandainya harta tidak cukup
untuk diberikan kepada yang bukan ahli waris itu, dianjurkan untuk menyampaikan
kata-kata yang baik bagi hadirin yang tidak mendapat apa-apa itu.
Dalam ayat ini disebutkan
bahwa yang akan menerima pemberian itu adalah kerabat, anak yatim dan orang miskin.
Tentang jumlanya tidak disebutkan. Tentunya hal tersebut didasarkan kepada
ukuran kepatutan yang tidak akan merugikan ahli waris.
Bila diperhatikan maksud
ayat 8 surah al-Nisa’ tersebut itu maka jelas sekali terlihat dikebijaksanaan
yang diberikan Allah dalam sistem kewarisan Islam. Dengan system ini maka semua
sistem kewarisan di luar Islam dapat diakomodasikan dan disesuaikan dalam
sistem Islam.
Dalam suatu sistem
kekerabatan dari orang Islam yang terkait dalam adat tertentu, terdapat pihak
yang oleh hukum adatnya dinyatakan sebagai ahli waris; tetapi dalam hukum
kewarisan Islam ternyata tidak tercatat sebagai ahli waris. Dengan adanya
kebijaksanaan hukum ini seseorang dapat melaksanakan hukum adatnya secara baik
dengan tetap tidak melanggar ketentuan hukum agamanya.
Menurut hukum adat
minangkabau umpamanya, kemenakan (anak dari saudara perempuan) adalah ahli
waris yang sah terhadap harta pusaka. Menurut Hukum Kewarisan Islam (selain
madzhab Syi’ah) kemenakan itu bukan ahli waris. Ia hanya dapat ditempatkan
sebagai ahli waris szaul arham yang baru berhak atas warisan kalau tidak ada
lagi ahli waris yang dekat. Sesuai dengan petunjuk ayat 8 surah al-Nisa’
diatas, harta yang ditinggalkan pewaris dikeluarkan sekadarnya dulu untuk
kemenakan yang merupakan ahli waris adat dan selebihnya dibagikan untuk ahli
waris, sesuai dengan ketentuan agama.
Perlu dijelaskan disini
secara sederhana perpedaan antara pemberian sebagaimana dimaksud ayat 8 diatas
dengan wasiat sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Nisa’ ayat 11, 12 dan surah
al-Baqarah ayat180 dan hibah. Wasiat telah ditentukan sebelumnya oleh pemilik
harta sebelum meninggalnya dan berlaku setelah ia meninggal. (Said Sabiq, 1971,
III, hlm.: 583) Selama wasiat itu masih dalam ketentuan yang berlaku, maka ahli
waris wajib melaksanakannya. Hibah ialah pemberian sewaktu masih hidup dan
berlaku sewaktu hidupnya. (Syarbaini Khatib, op cit, hlm.: 382
Pemberian menurut surah
al-Nisa’ ayat 8, seluruhnya adalah kekuasaan ahli waris dan kerelaannya untuk
melaksanakannya. Oleh karena itu, hukum yang mengenai pemberian itu hanya
berbentuk anjuran yang dilaksanakan oleh pelakunya secara sukarela. Apa yang
berlebih dan harta peninggalan itulah yang akan dibagi-bagikan dikalangan ahli
waris.
Setelah menghadapi setumpuk
harta yang akan dibagikan kepada ahli waris, baik secara fisik maupun secara
perhitungan, maka usaha selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Memperinci harta
yang bernilai dan memperhitungkannya dalam bentuk angka-angka yang dapat
dibagi-bagi. Keseluruhannya ditaksir dalam bentuk uang dan angka, baik bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik harta itu banyak atau sedikit.
2. Menelusuri
secara pasti orang yang bertalian kerabat dan perkawinan dengan pewaris, baik
yang ada ditempat atau tidak dan meneliti hal-hal sebagai berikut:
Kepastian
hubungannya dengan pewaris dengan menggunakan segala cara yang memungkinkan.
Seperti apakah memang ia dilahirkan oleh ibu atau tidak; apakah telah terjadi
perkawinan di antara keduanya atau tidak; apakah kelahiran anak tersebut
sebagai akibat dari perkawinan atau tidak;
Kepastian syarat
yang ditentukan seperti: apakah saat kematian pewaris ia telah nyata hidupnya
atau tidak. Bagi pasangan suami atau istri yang ditinggalkan, saat kematian itu
apakah masih terkait dalam perkawinan atau tidak. Bagi yang bercerai, apakah
waktu kejadian kematian itu masih berada dalam iddah talak raj’i atau tidak.
Kepastian tidak
adanya halangan seperti kesamaan agama antara pewaris dan ahli waris; dan bahwa
kematiannya bukan disebabkan oleh ahli waris.
Jarak hubungan
kekerabatannya denga pewaris untuk mengetahui apakah ia dihijab secara hijab
hirman oleh ahli waris yang ada bersamanya.
3. Memilah-milah
ahli orag-orang yang secara pasti berhak menerima warisan atas bagian yang
ditentukan atau dzaul Furudh atau ahli waris yang bagiannya masih bersifat
terbuka alias ashabah atau hanya sekedar zdaul arham.
Selanjutnya berlakulah langkah pembagian sebagai berikut:
1. Ahli waris yang
berhak untuk didahulukan bagiannya ialah ahli waris dzul Furudh, karena orang
yang berhak dan bagiannya telah dijelaskan Allah SWT. Dalam al-Qur’an atau
hadits Nabi. Hal ini juga sesuai dengan sabda dalam Nabi dalam hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim dari Ibnu Abbas, yang memerintahkan
untuk memberikan harta kepada dzaul furudh yang disebutkan dalam al-Qur’an
terlebih dahulu dan kelebihannya diberikan untuk kerabat laki-laki melalui
laki-laki (hadits nomor 1)
Atas dasar hadits Nabi tersebut maka keharusan yang pertama adalah
membagikan harta warisan untuk orang yang sudah pasti haknya itu. Dalam contoh
ahli waris adalah 2 orang anak perempuan, ayah dan ibu maka bagian
masing-masing adalah sebagai berikut:
Untuk 2anak
perempuan 2/3=4/6;
Untuk ayah
(karena ada anak) 1/6=1/6
Untuk ibu (karena
ada anak) 1/6= 1/6
Jumlah: 6/6
2. Bila harta tidak
terbagi habis diantara ahli waris dzaul Furudh sedangkan ahli waris yang tidak
mempunyai bagian tertentu ada yang berhak atas sisa harta itu, maka kelebihan
harta itu diberikan kepada ahli waris yang berhak atas sisa harta itu secara
pembagian yang bersifat terbuka. Oleh golongan Ahlu Sunnah ahli waris sisa
harta itu disebut ahli waris ashabah dan
dikalahngan ulama syi’ah ahli waris sisa harta itu dinamai ahli waris kerabat.
Rincian ahli waris ashabah dan ahli waris kerabat, hak mereka dan cara
pembagiannya telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya.
Contoh ahli waris yang ada terdiri dari ibu, istri, anak perempuan
dan saudara kandung laki-laki, maka bagian masing-masing adalah sebagai
berikut:
Untuk ibu 1/6 = 4/
24 (karena ada anak);
Untuk istri 1/8 =
3/24(karena ada anak);
Untuk anak
perempuan 1/2 = 12/24
Jumlah: 19/24
Sisa sebanyak
24/24-19/24= 5/24 adalah untuk saudara.
Dalam contoh ahli waris adalah istri, nenek, 1orang anak perempuan
dan 3 orang anak laki-laki, maka bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
Untuk suami 1/4=
3/12 (karena ada anak);
Untuk nenek 1/6=
2/12
Jumlah:5/12.
Sisa harta yaitu
7/12, untuk anak-anak;
Sisa untuk 1 anak
perempuan 1/7 x 7/12= 1/12;
Untuk anak laki-laki
2/7 x 7/12= 2/12.
Dalam contoh ahli waris adalah 2 anak perempuan dan suami, maka hak
masing-masing menurut ulama Ahlu Sunnah adalah sebagai berikut:
Untuk suami1/4
=3/12 (karena ada anak)
Untuk 2 anak
2/3=8/12;
Untuk 1 ana1/2 x
8/12 =4/12=1/3;
Jumlah: 11/12
Sisa harta tidak
terbagi karena tidak ada ahli waris ashabah.
Menurut ulama syi’ah sisa harta sebanyak 1/12 diberikan kepada 2
anak perempuan sebagai ahli waris kerabat. Untuk masing-masing 1/2 x1/2= 1/24
yang ditambhkan kepada pendapatan semula.
3. Bila harta tidak
habis terbagi sedangkan ahli waris ashabah dan ahli waris kerabat tidak ada pula, maka dalam
penyelesaian kelebihan harta ini terdapat perpedaan pendapat. Pendapat ini
disebabkan oleh adanya perbedaan mereka dalam hak kewarisan dzaul arham.
Menurut golongan ulama yang tidak menerima adanya kewarisan dzaul
arham, maka sisa harta diserahkan ke baitul mal. Pendapat ini didukung oleh
imam Syafi’I,(al-Mahalliy, III, hlm.:137) kelompok mutaakhir dari kalangan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa bila baitul mal tidak terus, maka kelebihan
harta itu diselesaikan secara radd. Bila tidak mungkin diselesaikan secara
radd, maka kelebihan harta itu baru diserahkan ke ahli waris dzaul arham. (ibd)
Dalam contoh ahli waris
adalah suami dan kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan) an anak
perempuan dari saudara laki-laki, maka bagian masing-masing adaah sebagai
berikut:
• Untuk suami adalah 1/2 karena
tidak ada anak;
• Sisa harta sebanyak 1/2
menurut jumhur ulama Syafi’iyah diserahkan kepada baitul mal.
Menurut ulama Hanafiyah dan sebaian kecil Syafi’iyah yang mengakui
adalah ahli waris dzaul arham penyelesaian yang 1/2 itu (menurut ahlu
al-tanzil) adalah sebagai berikut:
• Anak laki-laki dari saudara
perempuan menerima hak saudara perempuan yaitu 1/3 x ½= 1/6. Untuk anak
perempuan dari saudara laki-laki adalah hak saudara laki-laki yaitu 2/3 x1/2=
2/6 (seolah ahli warisnya adalah saudara perempuan dan saudara laki-laki).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali (dzaul
Furudh, ashabah dan dzaul arham), maka ia yang pernah dalam arti hadits nabi
yang berbunyi: أناوارث من لاوارث
له artinya: saya menjadi ahli waris bagi yang
tidak punya ahli waris.
Dari hadits Nabi tersebut dapat dipahami bahwa Nabi memperoleh
harta warisan dari orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris sama sekali.
Pengertian Nabi dalam hal ini bukan berarti ia sendiri yang berhak atas harta
itu, tetapi adalah umat Islam atau kepentingan agama. Dari sini pula timbulnya
pemikiran ulama yang menempatkan “Islam” sebagai salah satu sebab adanya
hubungan kewarisan, atau dalam arti sederhana umat islam pewaris orang yang
punah itu.
hal yang demikian juga berlaku terhadap warisan dari pewaris yang
hanya meninggalkan ahli waris zdaul Furudh dan tidak meninggalkan ahli waris
sissa harta, baik yang bernama ashabah menurut ulama ahlu Sunnah atau ahli
waris kerabat menurut ulama Syi’ah dan harta yang ditinggal itu tidak dapat
pula diselesaikan secara radd sebagaimana disebutkan diatas, seperti halnya
istri atau suami. Sisa harta dalam bentuk ini diserahkan kepada umat Islam
untuk kepentingan Islam. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam pasal 191 yang
berbunyi
bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidak adanya, maka harta tersebut atas utusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada baitul mal untuk kepentingan
agama Islam kesejahteraan umum.
Selanjutnya siapa yang mengelola harta yang telah menjadi umat
Islam itu. Dalam pengertian umum dikatakan bahwa harta umat islam diserahkan ke
baitul mal atau bendahara penyimpanan harta (umat Islam) yang jadoi persoalan
ialah bagaimana kalau disuatu wilayah tidak ada baitul mal; atau wujud baitul
mal itu ada, namun tidak terus kemana harta itu diserahkan.
Dalam pembicaraan terdahulu disebutkan bahwa dikalangan ulama yang
menghendaki penyerahan harta kepada baitu mal pun mempersyaratkan kalau baitul
mal itu dalam keadaan terurus. (al-Mahalli, III, hal.137) hal ini berarti kalau
baitul mal tidak teratur sama dengan tidak ada baitul mal.
Dalam keadaan tidak ada atau tidak teraturnya baitul mal maka
seluruh harta orang punah atau sisa harta yang mungkin terbagi itu diserahkan
untuk dikelola oleh badan atau lembaga pengelola harta umat Isalm. UU No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menetapkan bahwa Badan Amil Zakat yang
dibentuk Pemerintah disamping berfungsi ssebagai menyimpan dan mengelola zakat,
juga berhak menyimpan dan mengelola harta agama lainnya, termasuk harta warisan
yang ada pihak yang berhak menerimanya
BAB III
KESIMPULAN dan
Saran
3.1 Kesimpulan
Tirkah adalah harta dan hak hak yang ditinggal oleh maayit. Seperti
pengurusan jenazah,harta warisan, wasiat, dan hutang-hutang yang ditinggal oleh
mayit.
Dari semua hal itu, hal hal yang paling rinci terdapat perbedaan
pendapat dari baanyak halangan. Contoh nya, kalangan hanafiyah, hambali, maliki, dan syafi’i.
Seperti dalam pembahasaan pengurusan jenazah istri, haruskah memakai harta
tirkah (peninggan) istri atau harta pribadi suami.
Maupun dalam masalah hutang mayit, wasiyat, waris, disitu terdapat
perbedaan pendapat dari kalangan ulama yang sudah mencapai tingkat mujtahid.
3.2 Saran
Dalam harta tirkah terdapat bayak hak dan kewajiban umat islam
terutama ahli waris
Yang wajib dilaksanakan dengan sungguh sungguh karena jika tidak
teraksana bisa mengakibatkan bencana. Salah saatunya ketika penurusan jenazah
tidak teraksana dengn bik maka akan mengakibatkan mayat menjadi bangkai yang
bisa menggangu masyarakat umumnya karena bau busuk yang sangat menyengat. atau
juga ketika msaalh waris yang tidak di kerjakan dengan benar hukum maka akan
terjadi tidak adilan pada setiap ahi waris.
DAFTAR PUSTAKA
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. 2015. Hukum Waris. Edisi ke 5. Diterjemahkan
oleh: Addys A. dan Fathurrahman. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.
Al-Albani, Muhammad Nashirudidin. 2014. Sunan An-Nasa’i. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Syarifuddin, Amir. 2004. HUKUM KEWARISAN ISLAM. Jakarta:
Kencana.
Komentar
Posting Komentar