MAKALAH ULUMUL HADITS
Kedudukan Hadits Dalam
Syariat Islam dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Disusun Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Disusun
oleh kelompok II :
1. Salsabila 151100367
2. Shofi Kamila Azhari 151100375
3. Deni Hilman 151100370
4. Sarwan 151100381
5. Nadya Nurul Hidayah 151100383
JURUSAN HUKUM KELUARGA – A/II
IAIN SULTAN MAULANA
HASANUDDIN BANTEN
FAKULTAS
SYARIAH
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat
Allah SWT karena berkat rahmat dan kasih sayang-Nya kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada
junjungan Nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW serta keluarga, sahabat, tabi’in dan semoga kepada
kita semua sebagai umat yang Insya Allah taat dan patuh terhadap ajaran yang
dibawakannya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada guru-guru kami, orang tua kami dan teman-teman kami yang telah membantu
untuk menyelesaikan makalah ini baik itu secara moril maupun materil.
Makalah ini merupakan salah satu
sumber ilmu pengetahuan terutama dalam ajaran agama islam yang sangat penting
dan makalah ini juga secara khusus memberi pengetahuan dan pembelajaran kepada
kita semua sebagai pembaca yang mambahas tentang Kedudukan Hadits dalam Syariat Islam dan
Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata kesempurnaan. Oleh karena itu,kami mengharapkan berupa saran dan kritik
dari para pembaca termasuk kita sebagai mahasiswa dan mahasiswi demi
terciptanya kesempurnaan makalah ini. Kami menyadari juga bahwa makalah ini
banyak sekali kekurangannya dibandingkan kelebihannya.oleh karena itu,kami
meminta maaf kepada para pembaca, karena
kami juga masih dalam proses pembelajaran dan kami berharap semoga isi dari
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca baik itu di dunia maupun di akhirat
nanti. Amiin ….
Serang,
16 maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Hadits merupakan salah satu sumber hukum ajaran
islam kedua setelah Al-Quran. Hadits berasal dari bahasa arab yaitu Al-hadits, jamak dari kata Al-ahadits, Al-haditsan dan Al-hudtsan. Secara bahasa kata hadits
memiliki banyak arti diantaranya Al-jadid (yang baru) lawan kata dari Al-Qadim (yang lama), dan Al-khabar
(kabar atau berita).
Secara istilah hadits adalah segala
sesuatu yang diberikan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuataan, ketetapan, sifat-sifat, maupun hal ikhwal Nabi Muhammad SAW dan
Kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam ditegaskan didalam
dalil-dalil Al-Qur’an, hadits Rasulullah SAW maupun ijma yang ada dalam ulumul hadits
dan hadits juga mempunyai banyak fungsi terhadap Al-Qur’an diantaranya Bayan
at-Tafsir, at-Taqrir, at-Tasyri’, dan an-Nasakh.
1.2
Rumusan masalah
1. bagaimana kedudukan hadits dalam syariat islam ?
2. apa sajakah dalil-dalil yang menegaskan kedudukan hadits sebagai salah
satu sumber ajaran islam ?
3. Apa fungsi hadits terhadap Al-Qur’an ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari isi makalah ini adalah agar kita sebagai mahasiswa dan
mahasiswi perguruan tinggi mampu:
1. Mempelajari kedudukan dan fungsi hadits terhadap Al-Qur’an
2. Mengetahui kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam
3. Memahami apa kedudukan dan fungsi hadits terhadap Al-Qur’an
4. Mengamalkan apa yang ada didalam isi makalah ini
5.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan
hadits dalam syariat islam
Menurut Yusuf Qardhawi
mengungkapkan bahwa rasulullah adalah sumber hukum kedua bagi islam setelah
Al-Quran. Al-Quran merupakan undang-undang yang membuat pokok-pokok dan
kaidah-kaidah mendasar bagi islam, yang mencakup bidang Aqidah, ibadah, Akhlaq,
muamalah, dan adab sopan santun. Yusuf Qardhawi
juga mengemukakan bahwa sunnah (Hadits). merupakan penjelas teoretis dan
praktis bagi Al-quran. Oleh sebab itu, kita harus mengikuti dan mengamalkan
hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan oleh rasulullah saw., menaati perintah
rasulullah adalah wajib sebagaimana kita menaati apa yang disampaikan oleh Al-Quran.
Menurut Sohari
Sahrani dalam bukunya yang berjudul Ulumul Hadits, Hadits adalah
mubayyin (penjelas) bagi Al-Quran, karenanya siapapun tidak akan bisa memahami
Al-Quran tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitupula halnya
menggunakan hadits tanpa Al-Quran akan kehilangan arah, karena Al-Quran
merupakan dasar hukum pertama yang didalamnya berisi garis-garis besar syariat
islam. Oleh karena itu antara Al-Quran dan hadits memiliki hubungan timbal
balik yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
M.Habsi Asshidiqy
mengatakan ahli ‘aql dn ahli naqal dalam islam, telah berijma bahwa Al-hadits
atau sunnah itu dasar bagi hukum-hukum islam dan bahwa para umat ditugaskan
mengikuti al-hadits, as sunnah ditugaskan mengikuti Al-Quran. Tak ada perbedaan
dalam garis besarnya
Begitu juga dengan Drs.Fatchur Rahman beliau mengatakan hampir
seluruh ummat islam telah sepakat menetapkan Al-hadits sebagai salah satu
undang-undang yang wajib ditaati baik
berdasar petunjuk akal, petunjuk nash-nash Al-Quran maupun ijma para
sahabat.
Dalam buku Ilmu Hadits karangan Drs.Munzier Suparta, MA.
Berikut adalah alasan-alasan yang kuat terkait penetapan Al-hadits sebagai
sumber hukum, yaitu:
1.
Menurut petunjuk akal
Nabi
Muhammad adalah rasul Allah yang telah diakui dan dibenarkan ummat islam.
Didalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum-hukum syariat kepada
ummat, kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan yang isi dan redaksi
peraturan itu telah diterima dari Allah, kadang-kadang beliau membawakan
peraturan-peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari tuhan. Dan
tidak jarang pula beliau membawakan hasil ijtihad semata-semata mengenai suatu
masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad
beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya. Sudah layak
sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatif-inisiatif beliau, baik yang beliau
ciptakan atas bimbingan ilham maupun hasil ijtihad beliau, kita tempatkan
sebagai sumber hukum positif. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau
sebagai utusan tuhan mengharuskan kita untuk mentaati segala peraturan yang
dibawanya.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadist merupakan salah satu sumber
hukum dan sumber ajaran islam yang
meduduki urutan kedua setelah Al Quran. Sedangkan biladilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang mutawatir.
2.
Menurut petunjuk nash Al Quran
Al
Quran telah mewajibkan ittiba’ dan mentaati hukum-hukum dan peraturan-peraturan
yang disampaikan oleh nabi Muhammad dalam beberapa ayat antara lain:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“..... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat kras hukum-Nya” (QS. Al Hasyr : 7)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ
“dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin
Allah.” (QS. An Nisa : 64)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab : 36)
3. Menurut Ijma para
Sahabat
Para sahabat telah sepakat mentapkan wajibul ittiba’
terhadap Al hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun
setelah wafat. Diwaktu hayat Rasulullah, para sahabat sama konsekuen
melaksanakan hukum-hukum Rasulullah, mematuhi peraturan-peraturan dan
meninggalkan larangan-larangannya. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat bila
tidak menjumpai ketentuan dalam hadits nabi, menanyakan kepada siapa yang masih
mengingatnya. Umar dan sahabat lain pun meniru tindakan Abu Bakar tersebut.
Tindakan para Khulafaur rasyidin, tidak seorangpun dari sahabat dan tabi’in
yang mengingkarinya. Karena hal demikian itu merupakan suatu Ijma’.
4. Menurut dalil-dalil hadits
Dalam salah satu pesan Rasululloh SAW.
Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping
Al-quran sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
تَرَكـْتُ فِـيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّـكْتُمْ
بِهِماَ كِـتَابَ اللهِ وَ سُـنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian,yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”. (HR.Malik)
Hadits yang lainnya, yang diriwiyatkan oleh
قَالَ كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِيْ
بِكِتَا بِ اللهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَا بِ اللهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَئ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجْدِ فِـْي
سَنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّـى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَا بِ
اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَلَا اَلُوفَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ
رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يُرْضِيْ رَسُوْلِ اللهِ (روه ابو داود و الترميذى)
Artinya : “ (rasul bertanya) bagaimana kamu
akan menetatapkan hukum bila dihadapkan kepadamu sesuatu yang memerlukan
penetapan hukum? Mu’az menjawab: saya akan menetapkannya dalam kitab Allah.
Lalu rasul bertanya: seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?,
Mu’az menjawab: dengan sunnah Rasulullah SAW.
Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab
Allah dan juga tidak dalam sunnah Rasulullah SAW?, Mu’az menjawab saya akan
berijtihad dengan pendapat saya.”
فَعَلَـيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَـهْدِيِّـيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَاوَعَضُّوْاعَلَيْهَا...
( (رواه ابو داود و ابن ماجه
“wajib bagi kalian berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk),
berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”. (HR.Abu Dawud & Ibnu Majah).
Hadits-hadits tersebu diatas, menunjukan
kepada kita bahwa berpegang teguh pada hadits /menjadikan hadits sebagai
pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang
teguh pada Al Quran.
2.2 Fungsi hadits terhadap Al Quran
Fungsi
hadits terhadap Al Quran merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al Quran. Siapapun
tidak bisa memahami Al Quran tanpa memahami atau menguasai hadits. Hadits dan
Al Quran memiliki kaitan yang erat, karena itu untuk mengimani dan mengamalkan
tidak bisa terpisahkan sendiri-sendiri. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada
sumber hukum selain kitab dan As sunnah. Dalam Al Quran terdpat pokok-pokok
yang bersifat umum bagi hukum-hukum syariat, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya
kecuali yang sejalan dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak ada
berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak berkembang lantaran keragaman manusia
dilingkungan dan tradisi masing-masing.
Secara
global sunnah sejalan dengan Al Quran, menjelaskan mubah, merinci pada
ayat-ayat yang menjual, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan
menguraikan hukum-hukum dan tujuannya, disamping membawa hukum yang belum
dijelaskan secara eksplisit oleh Al Quran yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya
dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Disinilah Al Hadits
menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran islam yang kedua. Oleh
karenanya Al Quran merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali,
sehingga sedikit monoton bila menggunakan dasar Al Quran saja tanpa adanya
penjelasan lebih lanjut maka akan banyak sekali masalah yang tak mungkin
terselesaikan. Contohnya pada kenyatan praktik shalat, dalam Al Quran hanya
tertulis perintah saja untuk mendirikan shalat, tanpa adanya penjelasan berapa
kali shalat dalam sehari semalam, juga apa-apa syarat-syaratnya shalat itu
sendiri, juga rukunnya apa saja, dan lain sebagainya sehingga orang yang hanya
berpegang pada Al Quran saja tidak mungkin dapat mengerjakan shalat sesempurna
mungkin dengan adanya syarat, rukun, apa saja yang harus dijauhi dalam shalat,
dan lain sebagainya, Kalau hanya melihat dalam konteks Al Quran saja sehingga
jelas harus dibarengi dengan paparan-paparan yang ada didalam hadits.
Al Quran
dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Al Quran sebagai sumber
pertama dan utam banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
Oleh karena itulah kehadiran hadits, senbagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan (Bayan) keumuman isi Al Quran tersebut. Sesuai dengan firman Allah
SWT:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ
مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
Artinya:” Dan kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka berpikir”. (QS.An nahl: 44)
Allah
SWT menurunkan bagi ummat manusia agar Al Quran ini dapat dipahami oleh
manusia, maka Rasulullah SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan
cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-hadits. Oleh
karena itu fungsi hadits Rasulullah SAW sebagai penjelas (Bayan) Al Quran itu
bermacam-macam. Imam Malik bin Annas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu: Bayan
Al-taqrir, Bayan Al-tafsir, Bayan Al-tafshil, Bayan Al-ba’ts, Bayan Al-tasyri. Imam
Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu: Bayan Al-tafshil, Bayan At-takhshish,
Bayan Al-ta’yin, Bayan Al-tasyri, dan Bayan Al-naskh. Dalam “Al-Risalah” ia
menambahkan dengan Bayan Al- isyarah. Dengan Imam Ahmad bin Hanbal
menyebutkan empat fungsi yaitu: Bayan Al-ta’kin, Bayan Al-tafsir, Bayan
Al-tasyri, dan Bayan Al-takhshish.
1.
Bayan Al-taqrir
Bayan Al-taqrir disebut juga dengan bayan
Al-ta’kid dan bayan Al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan
dan memperkuat apa yang telah diterangkan didalam Al Quran. Dalam hal ini
hadits hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al Quran, Seperti dalam
Al Quran )QS.Al-Maidah
: 6(
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَ امْسَحُوا
بِرُؤُسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu samapai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki”.
Ayat
diatas di-taqrir oleh hadits Nabi SAW., yaitu
قَالَ رَسُلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتُقْبَلُ
صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ (روه البخري)
“Rasulullah SAW. Telah bersabda: tidak
diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudhu” (HR.Bukhari)
2.
Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran
hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Quran yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan
(taqyid) ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish)
terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang
ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa,
zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qisas, hudud, dan sebagainya.
Ayat-ayat Al-Quran tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai
cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya.
Oleh karena itulah Rasulullah SAW., melalui haditsnya menafsirkan dan
menjelaskan masalah-masalah tersebut.
a.
Merinci ayat-ayat yang mujmal
Yang
dimaksud dengan mujmal adalah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan
yang singkat terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal tersebut karena
belum jelas makna yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau
perincian. Dalam Al-Quran banyak ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan
perincian. Contohnya ayat tentang perintah shalat dan zakat (Q.S.Al-Baqarah :
43)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan
dirikan shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
Untuk memperjelas ayat tersebut, maka Nabi
memberikan perincian dengan sabdanya:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (روه البخري)
Artinya:
“…Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat…”
(H.R.Bukhari)
b.
Mentaqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata
mutlaq artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya,
dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid yang mutlaq,
artinya mmbatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat
tertentu. Penjelasan nabi SAW; berupa taqyid adalah seperti beliau mentaqyid
ayat Al Quran (QS. Al Maidah :38).
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا
كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya :
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Ayat tersebut
di-taqyid oleh hadits riwayat Muslim :
اتي رسول الله صلي الله عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف (روه مسلم)
Artinya: “Rasulullah
Saw. Didatangi seorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan
pencuri tersebut dari pergelangan tangan.
c.
Mentakshis ayat yang ‘am
Kata
takhsis atah khas ialah kata yang menunjukan arti khusus tertentu atau tunggal.
Sedangkan kata ‘am ialah kata yang menunjukan atau memiliki makna dalam jumlah
yang banyak (umum).
Yang dimaksud
mentakhsis yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat Al Quran sehingga
tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya, maka para ulama
berbeda pendapat apabila mukhashis-nya dengan hadits ahad. Menurut As-syafi’I
dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsiskan oleh hadits ahad yang menunjuk
kepada sesuatu yang khas, sdangkan menurut ulama Hanafiah, sebaliknya. Contoh
hadits yang berfungsi untuk mentakhsis keumuman ayat-ayat Al Quran ialah sabda
Nabi SAW.:
لاَيَرِثُ القَاتِلُ من المقتول شَيْئاً
Artnya : “Tidaklah
seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.”
(HR. Abu Daud dan An-Nasa'i)
Hadits tersebut
mentakhsis keumuman firman Allah (QS. An Nisa : 11)
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
Artinya : Allah
mensyaria’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
3.
Bayan At-tasyri’
Kata At-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan
aturan atau hukum maka yang dimaksud dengan bayan At-tasyri’ disini ialah
penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu
hukum atau aturan-atauran syara’ yang tidak didapati nash-nya dalam Al-Quran.
Rasulullah SAW., dalam hal ini berusaha menunjukan suatu kepastian hukum
terhadap persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Banyak hadits Nabi SAW., yang termasuk kedalam kelompok ini,
diantaranya hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita
bersaudara (antara istri dan bibinya), hukum syuf’ah, hukum membasuh bagian
atas sepatu dalam berwudhu, hukum tentang ukuran, zakat fitrah dan hukum
tentang hak waris bagi seseorang anak. Misalnya hadits tentang zakat fitrah
yaitu:
أَنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ
الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلَى كُلَّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
(روه مسلم)
Artinya: “bahwasannya Rasulullah SAW., telah mewajibkan zakat
fitrah pada bulan ramadhan satu sukat (shaa’) kurma atau gandum untuk setiap
orang, baik merdeka atupun hamba, laki-laki atau perempuan”. (H.R.Muslim)
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za’id al-kitab al-karim (tambahan
terhadap nash Al-Quran). Disebut atambahan disini, karena sebenarnya didalam
Al-Quran sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya hadits tersebut merupakan
tambahan terhadap ketentuan pokok itu.
4.
Bayan An-Nasakh
Kata An-nasakh secara bahasa
mempunyai arti diantaranya berarti al-ibhral (membatalkan), atau al-ijalah
(menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah) Dalam
mendefinisikan nasakh ini, para ulama berbeda pendapat. perbedaan ini terjadi
karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Para
ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang
mendatangkan kemudian.
Dari pengertian diatas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang
kemudian dari Al-Quran dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi
Al-Quran.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah sabda
Rasulullah SAW., dari Abu Umamah Al-bahali:
فلا و صية لوا ر ث (روه احمد والآ
ربعة الا النسا ء).....
Artinya: “Maka Tidak ada
wasiat bagi ahli waris”. (H.R.Ahmad dan al-Arba’ah kecuali nasa’i).
Hadits diatas menurut sebagian ulama dapat men-askah-kan kandungan
Al-Quran (Q.S.Al-baqarah : 180)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا
عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karir kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang bertakwa”.
Adapun fungsi hadits terhadap Al-Quran menurur Drs.Fatchur Rahman,
adalah sebagai berikut:
1.
Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh Al-Quran. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi
sumber hukum. Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu,
dalam firman-Nya:
وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ.......
Artinya: “Dan jauhilah perkataan dusta”. (Q.S.Al-hajj: 30)
Kemudian Nabi dengan haditsnya menguatkan:
الا انبئكم بأكبر الكبائر ؟ قلنا : بلي يا رسول الله . قال : الاشراك
بالله, وعقوق الوالدين. وكان متكئا فجلس فقال : ألا وقول الزور (متفق عليه)
Artinya: “Perhatikan! Aku
akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya musyrik kepada Allah, (2) menyakiti kedua
orang tua” saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya
bersabda lagi:”awas! Berkata (bersaksi) palsu – dan setrusnya”
(H.R.Bukhari – Muslim)
2.
Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran
yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Quran yang
masih mutlak dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-Quran
yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan shalat, membayar zakat, dan menunaikan
haji. didalam Al-Quran tidak dijelaskan jumlah rakaatdan bagaimana cara-cara
melaksanakan shalt, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak
dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semua itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan
ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh al-hadits. Nash-nash Al-Quran mengharamkan
bangkai dan darah secara mutlak, dalam (QS. Al-maidah: 3)
……..حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ
Artinya:” Diharamkan memakan bangkai,darah,daging babi dan
seterusnya”.
Kemudian As-Sunnah
mentaqyidkan pemutlakannya dan mentakhshishkan keharamannya beserta menjelaskan
maam-macam bangkai dan darah dengan sabdanya:
Artinya:”Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam
darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bnagkai
belalang, sedang dua macam darah itu ialah ahati dan limpah”. (H.R.Ibnu Majah
dan Al-Hakim)
Ketentuan anak-anak dapat mempusakai orang tuanya dan keluarganya
didalam Al-Quran dilukiskan secara umum:
……..يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
Artinya:”Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian
anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan”.
(Q.S.An-nisa: 11)
3. Menetapkan
hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Quran. Didalam hal ini
hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata.
Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan
bibinya, seperti disabdakan:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
Artinya:”Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita
dengan ‘ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari
ibu)-nya.” (H.R.Bukhari Muslim)
Juga larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan karena ia
dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:
إن الله حرم من
الرضاعة ما حرم من النسب
Artinya: “Sungguh, Allah telah mengharamkan mengawini seseorang
sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”.
(H.R.Bukhari – Muslim)
Para ulama sepakat baik ulama Ahlur Ra’yi, maupun Ahlul Atsar
menetapkan bahwa: hadits itulah yang bertindak mensyarahkan dan menjelaskan
Al-Quran. Namun pada keduanya yaitu Ahlur
Ra’yi dan Ahlul Atsar terdapat perbedaan, menurut M.Hasby Ass shidiqy.
Menurut pendapat fuqaha Ahlur Ra’yi, sesuatu titah Al-Quran yang khash
madlulnya, tidak memrlukan lagi kepada penjelasan As sunah. As sunnah yang
datang mengenai titah khash itu ditolak, dihukum menambah, tidak diterima,
terkecuali sama kekuatannya dengan ayat itu sedangkan Ahlul Atsar berpendapat,
bahwa segala hadits yang shahih mengenai masalah yang diterangkan Al-Quran
harus dipandang menjelaskan Al-Quran mentakhsishkan umum Al-Quran dan
mengqayidkan mutlaq Al-Quran.
Sudah jelaslah bahwa Al-Quran dan Al hadits merupakan dua sumber
syariat yang tidak bisa dipisahkan, sehingga keduanya saling berkaitan satu
sama lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan :
1.
Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam
yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran.
2.
Hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum sama dengan
dengan Al-quran dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukannya.
Al-Quran dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran Islam,
anatar satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena keduanya
mempunyai timbal balik. Al-Quran itu adalah pokok hukum syariat, pegangan umat
Islam yang secara rinci menerima penjelasan dari sunnah.
3.
Fungsi hadis terhadap Al-Quran adalah
a.
Bayan al-Taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan
dalam
Al-Quran ).
b.
Bayan al-Tafsir (penjelasan memperkuat dan menafsirkan ayat-ayat
yang terdapat dalam Al-Quran).
c.
Bayan al-Tasyri (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang
tidak didapati dalam Al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja).
d.
Bayan an-Nasakh (menghapus, menghilangan, dan mengganti ketentuan
atau isi kandungan Al-Quran).
Daftar
Pustaka
Solahudin Agus
dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka
Setia.
Sahrani,Sohari.
2010. Umul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Juned,Daniel.
2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Erlangga.
Rahman,Fatchur.
1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Suparta,Munzier.
2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Salsabila,dkk.2016.https://Ulumhadits.wordpress.com/2013/10/16/Kedudukan-hadits-dalam-syariat-islam.Serang. (Diakses pada tanggal 14 Maret 2016)
Komentar
Posting Komentar