MAKALAH TARIKH TASYRI’
PERANAN ULAMA DALAM BANGKITNYA
KEMBALI TASYRI’ ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’

Disusun oleh kelompok 3 :
Nadya Nurul Hidayah 151100383
Mazdalifah Taro 151100364
Latansa Madiana Islam 151100373
Dewi Juniati 151100400
Irfan Izzudin 151100390
Masrudin 151100340
JURUSAN HUKUM KELUARGA – A/2
IAIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
(FAKULTAS SYARIAH )
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tarikh At-Tasyri’ atau sejarah perkembangan pembentukan (legislasi)
Hukum Islam merupakan materi yang sangat urgen bagi peminat kajian hukum islam.
Urgensi dan manfaat kajian tarikh tasyri’ terutama adalah untuk mengetahui
prinsip-prinsip dan tujuan syariat islam.
Selain itu dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari
sahabat rasulullah hingga para imam mazhab dan murid-muridnya dalam mengisi
khazanah ilmu peradaban kaum muslimin sehingga akan tumbuh dalam diri umat
islam kebanggan terhadap syariat islam sekaligus optimism bahwa syariat islam
menjadi solusi dan rahmat dalam menata berbagai problematika kehidupan manusia
sekarang dan yang akan datang.
1.2
Rumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang diatas, terdapat berbagai
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yg membuat tasyri’ islam bangkit?
2.
Bagaimana peranan ulama’ dalam tasyri’ islam?
1.3
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, kita dapat mengetahui tujuan
makalah ini sebagai berikut:
1.
untuk mengetahui bagaimana perkembangan bangkitnya islam
2.
untuk mengetahui peranan ulama dalam tasyri’ islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perkembangan Bangkitnya Tasyri’ Islam
Dengan kejatuhan Baghdad oleh hulagu khan raja mongol, maka
berakhirlah periode kelima dalam tasyri’ al-islami. Pada prinsipnya
perkembangan tasyri’ pada periode ini hanyalah terbatas dalam hal memperbaiki
susunan materi fiqh, meneliti permasalahan-permasalahan para ulama terdahulu
disamping berusaha menetapkan hukum bagi berbagai problema baru yang muncul di
saat itu dengan melalui metode qiyas.
Pada masa itu, taklid sudah merajalela, akan tetapi bukan berarti
ijtihad tidak ada, bahkan pada permulaan periode ini sejumlah orang yang tidak
layak berijtihad, melakukan ijtihad. Maka al- Karakhi(440 H) mengeluarkan fatwa
bahwa bagi yang ingin berijtihad supaya mengikuti madzhabnya. Sesungguhnya pada
periode ini, tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan oleh sejarah sebagai
produk pemikiran ilmiah yang menuju ke jenjang mujtahid. Namun walaupun serba
sedikit, kita masih bisa memunculkan ulama yang berpengetahuan cukup luas,
sebagai mujtahid madzhab.kenyataannya memang dalam kurun waktu itu sampai abad
ke-13 para ulam fiqih cukup aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah,
dan mengkritik hasil pemikiran fuqaha-fuqaha terdahulu walaupun hanya
diungkapkan oleh imam madzabnya saja, seperti dalam kitab al-Majmu’ karya
al-Nawawi, al-Mustashfa dan Ihya
Ulum al-Din karya Al-Ghozali. Para
fuqaha sangat giat meneliti dan mengklasifikasikan permasalahan fiqh, kemudian
memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah untuk mendapatkan kesepakatan, mana
yang sama dan mana yang berbeda kemudian mereka bukukan seperti al-Inshof
karya al-Bathliyusi, Bidayah al-Mujahid karya Ibnu al-Rusyd, al-I’tishom
karya al-Syatibi, al-Mizan karya al-Sya’roni, dan lain-lain yang
merupakan cikal bakal bagi kelahiran fiqh Muqaran.
Langkah mundur terjadi pada saat ini dengan munculnya pendapat
dikalangan fuqoha untuk tidak membuat pilihan fatwanya. Tidak boleh menentukan
mana yang kuat dan mana yang lemah diantara pendapat imam-imam madzhab, serta
tidak boleh berpegang langsung kepada al-Quran dan as-sunah dan harus
bertaklid. Dan siapa yang dalam fatwanya keluar dari pendapat ulama madzhab
empat, dipandang sesat(as-shiddiqi:184)
Pada masa ini,tahapan
tasyri’ dibagi menjadi dua bagian : dari tahun 650 H sampai dengan permulaan
abad ke-10 H, dan dari awal abad ke-10 H hingga akhir abad ke-13 H. dari
permulaan abad ketujuh sampai dengan abad kesepuluh, masih ditemukan
ulama-ulama yang berbobot, baik dari segi ilmu maupun kemampuan berijtihadnya,
seperti : Khalil al-malik al subki al-rimli, ibnu rif’ah, al kamal bin al-humam,
al syayuthi dan lain sebagainya, tetapi ternyata mereka juga tidak
mengaplikatifkan untuk takhrij dan ijtihad, cukup hanya memfokuskan diri untuk
mengarang, menyusun dan mengumpulkan pendapat-pendapat dari kitab-kitab yang
ada dengan cara mengikhtisar, mensyarah, membuat syarah dan membuat hasyiah ,
takmilah, koleksi fatwa, hasil penelitian fatwa-fatwa dan sebagainya. Yang
terkadang isi dari arya mereka seakan-akan bentuk teka-teki yang sulit
dipecahkan.
Mulai dari awal abad ke-10 H sampai dengan akhir abad ke-13 H,
keadaan tasyri’ memang cukup memprihatinkan. Adapun sebab-sebabnya ada beberapa
faktor, yang antara lain:
1.
para ulama hanya memusatkan perhatian untuk mempelajari
ibarat-ibarat yang sukar, tetapi mereka memutuskan hubungan dengan kitab-kitab
terdahulu yang bernilai cukup tinggi.
2.
Tidak adanya konsultasi dan kunjung mengunjungi diantara ulama dari
satu tempat ke tempat yang lain,
sedangkan hidup dan berkembangnya ilmu itu karena konsultasi dan saling
mengunjungi.
3.
Berkembangnya aneka macam susunan dalam satu disiplin ilmu, maka
tentu akan mempersulit bagi ulama yang ingin melangkah menuju jenjang ijtihad,
sebabnya harus melalui dahulu bermacam macam tumpukan kitab yang cukup banyak.
Dari seluruh yang
menjadi sebab dan kendala pada periode ini,myang sangat mendasar adalah jauhnya
ulama untuk menuju gelanggang ijtihad.
Namun pada bidang ushul fiqih mereka banyak mengalami keajuan,
yakni dengan mempelajari metode-metode yang telah dirumuskan oleh ulama
sebelumnya, menyempurnakan dan menganalisa hasil penerapan masing-masing metode
kepada furu’ fiqhiyah. Sehingga pada periode ini telah dihasilkan puluhan kitab
qawa’id fiqhiyah, seperti : al asybah wa-ak-nadhoir karya imam al-sayuthi
(wafat tahun 911 H), al qawanin al-fiqhiyah karya ibnu al-jizzi (wafat tahun
741 H), dan al qawa’id karya ibnu rajab (wafat tahun 790 H).
Secara umum, periode ini memang periode kemunduran, namun dengan
adanya limpahan rahmat Allah SWT masih ada ulama fuqoha yang bangun dari tidur
untuk melakukan ijtihad, dengan tidak menghiraukan cari maki dan umpatan.
Mereka terus jalan membawa pikiran ulama salaf yang sholih, diantara
mereka adalah al-Imam Muhammad bin ismail al-kahlani al-shon’ani dengan
karyanya subuh al-salam, dan imam al syaukani mengarang kitab hadits hukum yang
berujudul Nail al-Author.
Beberapa ulama pada periode keenam
Dalam pertumbuhan dan perkembangan
tasyri’ islam akan sangat dipengaruhi oleh munculnya tokoh ulama yang ada dari
masing-masing aliran mazhab. Secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Pakar
pakar fuqoha dari aliran hanafiyah
a. Ibnu
al-Humam, ialah Kamaluddin Muhammad bin Abdi al-Wahdi bin Abdi al-Hamid ibni
Mas’ud al-Siwaisyi al-Iskandari, terkenal dengan Ibnu al-Huma. Seorang imam
yang dapat memahami arti dan pokok-pokok syariat, tafsir, faraid, fiqh, lughoh,
mantik dan musik. Lahir pada tahun 790 H dan wafat pada tahun 861 H, dan
diantara tulisannya yang terpenting ialah: fathu al-Qodir syarah dari
al-Hidayah, al-Tahrir dalam bidang ushul fiqh dan al-Musamarah dalam bidang
ushul al-din.
b.
Al Nasafi, Abu al-Barakat hafiduddin Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi,
wafat tahun 710 H. Beliau adalah seorang ulama ahli fiqh yang terkenal dari
mazhab hanafi, dan beliau pun terkenal sebagai seorang musafir ulung. Diantara
kitabnya ialah al-Madarik dalam ilmu tafsir, Kanzu al-Aqoiq, al-Wafi, al-Kafi
(Syarrah al-Wafi), al-Musyasyafa dalam bidang fiqh dan al-Manar dalam bidang
ushul fiqh.
c. Al-Zaila’iy
, Fakhruddin Usman bin Ali BIN Mihjan al- Zala’iy, sebagai seorang mufti di
kairo, termasuk fuqoha hanafiyah. Diantara kitab yang beliau karang adalah:
tabyin al-Haqoiq, Syarah al-Daqoiq, barokah al-Kalam fi Ahadits al-Ahkam,
kemudian syarah al-jami’ al-Kabir.
d. Al-A’ini,
badrudin Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘aini, lahir pada tahun 762 H,
wafat tahun 855 H, seorang ulama fiqh juga ahli sejarah. Diantara kitab
karangannya ialah : umdah al-qori syarrah shohih bukhari, Maghoni al-Akhyar
Syarrah Ma’ani al-Astar, nukhab al-Afkar, Syarrah al-Bihari al-Dzohiroh.
2. Pakar-pakar
fuqoha abad keenam dari aliran Malikiyah
a. Ibnu
al-Hajib, Jamaluddin Usman bin Umar bin Abi baker bin Yunus, lahir tahun 570 H,
dan wafat tahun 646 H, karena ayahnya seorang penjaga pintu istana, maka ia
dikenal dengan Ibnu al-Hajib. Di antara kitabnya ialah: Muntaha al-Suh wa al-Amal, Mukhtashor Muntahassul wa ala-Amal dan Jami’ al-Ummahat
dalam soal fiqh.
b. Kholil
bin Ishak, bin Musa al-Jundi, wafat pada tahun 767 H, seorang ahli fiqh dari
mazhab Malikik, seorang mufti di mesir. Diantara karangan nya ialah : al-mukhtashor
yang disalain dalam nahasa prancis, kemudian syarah ibnu Al-hajib dan
al-manasik.
c. Ibnu
juzai muhammad bin ahmad bin juzai al-kalibi, wafat pada tahun 741 H, seorang
ulama besar dalam aliran malikiyah, telah mengarang kita : al-qawanin
Al-fiqiyah, sebuah kitab yang meliputi pembahasan tentang ilmu kalam fiqh,
sirah rasul, tarikh serta tashauf
d. Al-kaththob,
muhammad bin ahmad bin abdi rohman al-hathob, lahir pada tahun 902 H, dan wafat
tahun 902 H. Beliau termasuk seorang ulama malikiah golongan tashauf, buku
karangan nya ialah : al-qorrot al-‘ain, hidayat al-salik, muwahib al-jalil dan
tahrir al-kalam.
3. Para
pakara fuqoha abad keenam dari madzhab Syafi’i
a. Ibnu
Abdi al-Salam, izuddin Abdu al-‘Aziz bin Abdi al-Salam al-Dimasqi, lahir pada tahun
694 H, dan wafat pada tahun 660 H dikenal dengan sebutan Raja Ulama, seorang
ahli fiqh mazhab Syafi’i yang mencapai tingkat mujtahid mutlak. Beliau lama
memangkut jabatan seorang qodhi di Mesir, dan di antara kitab karangannya
ialah: al-Fawaid al-Ghoyah, Mukhtashshor al-Nihayah, al-Qowaid al-Kubro,
al-Qowaid al-Shughro dan al-Ri’ayah.
b. Ibnu
Jama’ah, Abdu al-‘Aziz bin Muhammad bin Ibrohim bin jama’ah al-Kinani
al-Hamawi, lahir tahun 694 H dan wafat tahun 767 H. Beliau termasuk seorang
ulama hadits dan Ketua Pengadilan. Buku karangannya antaralain: Bidayah
al-Salik dan Takhrij Ahadits al-Rafi’i.
c. Al-Bulqini,
Sirajuddin Uamr bin Ruslah bin Masher al-Kinani al-Asqolani al-Syafi’i, seorang
mujtahid dan Huffaz al-Hadits, lahir pada tahun 724 H, wafat tahun 805 H.
Karangannya adalah: al-Tadrib dalam masalah fiqh, Tashhih al-Minhaj,
al-Mulimmat, Mahasin al-Istilah dan hasyiyah al-Roudhoh.
d. Jalaluddin
al-Mahalli, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim al-Mahalli, seorang
ulama ahli ushul dan ilmu tafsir serta ilmu fiqh. Di antara kitabnya adalah:
Tafsir al-Jalalin, Kanzu al-Roghibin, Syarah Minhaj al-Tholibin, Syarah Jam’u
al-Jawami’ dan Syarah al-waroqot.
4. Pakar
fuqoha mazhab hambali pada periode keenam
a. Majdu
al-Din al-Harani, Abu al-Barokat Abdu al-Salam bin Abdillah bin Abi al-Qosim
al-Harani, lahir tahun 590 H dan wafat tahun 652 H, bergelar syaikh al-Islam,
Nenek dari ibnu taimiyah. Terkenal sebab ulama fiqh, hadits dan tafsir serta
ushul fiqh dan madzhab ulama islam. Diantara kitabnya ialah al-ahkam, syarah
al-hidayah,m untaq al akabar, al muharror dalam ilmu fiqh.
b.
Imam ibnu taimiyah, taqiyudidn abu al-abbas ahmad bin abdi al-Salam bin
Taimiyah al-Harani, lahir pada tahun 661 H dan wafat tahun 728 H. Seorang ulama
bear imamah dari para imam mazhab, lautan ilmu pengetahuan, bergelar Syaikh
al-islam. Di antara kitab-kitabnya ialah: Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah
al-Jawab al-Shohih, al-tawassul wa al-Washilah, Bayanu al-Dalil ‘ala Buthlan
al-Tahlil, Iqtidhou al-Shirot al-Mustaqim, Rof’u al-Malam, al-Siyasah
Syari’iyah, Syarah al-Muharror, Syarah al-Umdah, al-Fatwa, dan sungguh masih
banyak lagi yang dapat mengembalikan pancaran cahaya ijtihad terhadap kalangan
ulama dan intelektual muslim modern.
2.2
Pemikiran-pemikiran ulama tentang pembangkitan tasyri'
1. Kerangka
pemikiran muhammad ‘abduh
a) Pembaruan ‘Abduh dalam Masalah Ijtihad
Faham Ibn Taimiyyah yang menyatakan bahwa ajaran-ajran Islam terbagi ke dalam
dua kategori: Ibadah dan Mu’amalah, diambil dan ditonjolkan oleh
‘Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Qur’an dan hadits
bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak
terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa
perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan
zaman.
Penyesuaian
dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan dengan mengadakan interpretasi
baru. Untuk itu, Ijtihad perlu dibuka. Dalam kitab Tarikh Hashri
al-Ijtihad dikutip pendapat ‘Abduh mengenai ijtihad sebagai berikut:
“Sesungguhnya
kehidupan sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal
baru yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Ijtihad adalah jalan
yang telah ada dalam syariat Islam sebagai sarana untuk menghubungkan hal-hal
baru dalam kehidupan manusia dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam
telah dibahas seluruhnya oleh para ulama terdahulu....”.
Selanjutnya,
menurut ‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang
muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Quran
dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki
perubahan menurut zaman.
Taklid buta pada
ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena
taklid di bidang muamalah menghentikan pikir dan akal
berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan
masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
Pendapat
tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi pada akal.
Qur'an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam, menurutnya
adalah agama rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman
seseorang takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali mengikat
tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang bertentangan
dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan dengan akal, maka harus
dicari interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami secara rasional.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa. Tentang hal ini
Muhammad ‘Abduh berkata:
“Mesti ada
suatu pembebasan akal dari belenggu taqlid, dan mesti memahami agama sesuai
dengan jalan yang ditempuh oleh pada kaum salaf sebelum terjadi
perpecahan.......dan umat Islam mesti berpaling kepada kekuatan akal sebagai kekuatan terbesar manusia.
b) Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Islam
(Pendidikan)
Seperti dikutip
Fazlur Rahman, ‘Abduh menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern banyak berdasar
pada hukum alam (sunnatullah, yang tidak bertentangan dengan Islam yang
sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan Allah SWT. Wahyu juga berasal
dari Allah. Jadi, karena keduanya datang dari Allah, tidak dapat bertentangan
satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern
dan, yang modern mesti sesuai dengan Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam
yang melindungi ilmu pengetahuan. Dengan penuh semangat, ‘Abduh menyuarakan
penggalian sains dan penanaman semangat ilmiah Barat. Kemajuan Eropa ia
tegaskan karena belahan dunia ini telah mengambil yang terbaik dari ajaran
Islam. Ia membantah bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia
ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis
kehidupan modern.
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, ‘Abduh berupaya untuk memperbarui
pendidikan dan pelajaran modern, yang dimaksudkan agar para ulama kelak tahu
kebudayaan modern dan mampu menyelesaikan persoalan modern. Pendidikan adalah
hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.
Program yang
diajukannya--sebagai salah satu fondasi utama--adalah memahami dan menggunakan
Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Menurutnya, sekolah
negeri (sekuler) harus diwarnai dengan agama yang kuat. Namun, rupanya,
pendapatnya itu mendapat tantangan berat dari ulama konservatif yang belum
mengetahui faedah dari perubahan yang dianjurkan ‘Abduh.
Keberatan final
‘Abduh berkenaan dengan upaya meniru pendidikan Barat disebabkan pengalaman
bahwa orang yang meniru bangsa lain, dan meniru adat bangsa lain, membukakan
pintu bagi masuknya musuh. Segelintir orang yang terbaratkan telah menggunakan
slogan asing, seperti “kebebasan, nasionalisme, etnisitas”.
‘Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang
mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki dan perempuan.
Semuanya harus punya kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung.
Semuanya harus mendapat pendidikan agama, yang mengabaikan perbedaan sektarian
dan menyoroti perbedaan antara Kristen dan Islam.
Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang
dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat
pendidikan minimum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka. Kurikulum
sekolah ini harus meliputi: (1) buku ikhtisar doktrin Islam yang
berdasarkan ajaran Sunni dan tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian;
(2) teks ringkas yang memaparkan secara garis besar fondasi kehidupan etika dan
moral dan menunjukkan mana yang benar dan yang salah; dan (3) teks ringkas
sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan shahabat, dan sebab-sebab kejayaan
Islam.
Sedangkan untuk sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari
syariat, militer, kedokteran, atau ingin bekerja ada pemerintah. Kurikulumnya
haruslah meliputi, antara lain: (1) buku yang memberikan pengantar pengetahuan,
seno logika, prinsip penalaran; (2) teks tentang doktrin, yang menyampaikan
soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya
menghindarkan konflik, pembahasan lebih irnci mengenai perbedaan antara Kristen
dan Islam, dan keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan
akherat; (3) teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah, penggunaan nalar
dan prinsip-prinsip doktrin; serta (4) teks sejarah yang meliputi berbagai
penaklukan dan penyebaran Islam.
Adapun pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan kepala sekolah,
dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup: (1) tafsir al-Qur’an; (2) ilmu
bahasa dan bahasa Arab; (3) ilmu hadis; (4) studi moralitas (etika); (5)
prinsip-prinsip fiqh; (6) seni berbicara dan meyakinkan; dan (7) teologi dan
pemahaman doktrin secara rasional.
c) Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Keluarga dan Wanita
Menurut ‘Abduh, blok bangunan terpenting dari masyarakat baru adalah individu.
Umat terdiri dari unit-unit keluarga. Kalau unit-unit ini tidak memberikan
lingkungan yang sehat dan fungsional bagi perkembangan individu di dalamnya,
maka masyarakat akan ambruk. Abduh berkata:
“Sesungguhnya
umat terdiri rumah-rumah (unit-unit keluarga). Jika unit-unit keluarga baik,
maka umat pun akan baik. Barangsiapa yang tidak memiliki keluarga maka ia pun
tidak memiliki umat. Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang
memiliki hak, kebebasan beraktivitas, perasaan, dan akal yang sama. Dan
ketahuilah bahwa laki-laki yang berupaya menindas wanita supaya dapat menjadi
tuan dirumahnya sendiri, berarti menciptakan generasi budak...”
Menurut ‘Abduh,
jika wanita memang punya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan, maka
keunggulan pria tak berlaku lagi. Di tempat lain, dia menulis, bahwa menurut
al-Qur’an ada dua jenis wanita, wanita saleh dan wanita durhaka. kepemimpinan
pria berlaku hanya terhadap istri yang mengacau atau durhaka.
‘Abduh juga berpendapat bahwa, penyebab perpecahan atau firnah dalam masyarakat
adalah karena pria mengumbar hawa nafsunya. Tak seperti penulis kontemporer
lainnya, dia tak mengatakan bahwa penyebabnya adalah karena wanita, atau karena
kapasitas wanita untuk membangkitkan gairah seks pria.
Berikut ini adalah argumentasi
‘Abduh dalam memperotes poligami:
1. Jika seorang wanita dapat dimiliki oleh semua pria, dan setiap wanita boleh
jadi pasangan setiap pria, maka api kecemburuan akan berkobar di hati manusia,
dan masing-masing akan berupaya membela keinginanya. Ini akan menyebabkan
pertumpahan darah.
2. Wanita pada sifatnya tak mampu menyediakan kebutuhan hidupnya, dan tak
mampu melindungi dirinya dari bahaya, khususnya ketika sedang hamil dan
melahirkan. Kalau pria tak menyadari tanggung jawab memebelanya dan hak-haknya,
maka dia dan keturunannya akan mendapat bahaya.
3. Pria Muslim baru akan terdorong untuk bekerja keras agar menjadi pemerhati
tanggungannya yang baik. Kalau tak ada istri dan anak dia tidak akan mendapat
masa depan. Jika keturunannya tak jelas, maka pria tak akan berjuang menafkahi
anak seperti itu.
4. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia
akan sadar bahwa mustahil untuk beristri lebih dari satu. Maka karena keadilan
dalam poligami itu mustahil, maka poligami harus dilarang. [makalah ditulis oleh harja
saputra, tahun 2001]
2.
Kerangka
pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab
Ia membagi
ketauhidan menjadi dua, yaitu tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Tauhid
uluhiyah artinya tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik
Allah, dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allalh, yang dilahirkan
dengan mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Selain itu hanya berbakti
kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan
alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepadanya. Sedangkan tauhid rububiyah
artinya kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi tidak dengan
mengabdi kepada Allah.
Dalam pemikiran
Muhammad bin Abd. Wahab, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para nabi dan
rasul, smentara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian
manusia kepada selain Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya
cara untuk menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali
kepada kitabullah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir
menyamai syirik. Seperti mengunjungi makam para wali, mempersembahkan hadiah
dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan.
Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para
tokoh mereka.
Menurut
Muhammad bin Abd. Wahab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama dalam
pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau
contoh merupakan metode pendidikan yang paling efektif. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab agar umat manusia kembali kepada Rasulullah
dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi manusia.
a) Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran
Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Esa yang mutlak
2. Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan
Hadits
3. Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan
pemberian amal
4. Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
5. Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
6. Percaya akan takdir
7. Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar
Menurutnya,
manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran
dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang
beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau
kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pandahulunya yang
menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti tidak menganggap
hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka kaum muslimin
pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaharuan pada periode modern,[1] diantaranya:
a. Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran
Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber
b. Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
c. Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka
3.
Kerangka
Pemikiran Rasyid Ridha
1. Bid’ah dan Faham Fatalisme:
Penyebab Kemunduran Umat Islam
Hampir tidak
jauh berbeda pemikiran Rasyid Ridha mengenai pembaruannya dengan para gurunya,
yaitu Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat
Islam mundur karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Pemahaman umat Islam tentang ajaran-ajaran agama mengalami kesalahan dan
perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam yang
hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat.
Menurut Rasyid
Ridha, di antara bid’ah-bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat
ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang
dikehendakinya. Bid’ah lain yang ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran
syekh-syekh tarekat tentang tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal,
dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.
Umat, demikian
menurut Rasyid Ridha, harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya,
murni dari segala bid’ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam
ibadat dan sederhana dalam muamalatnya. Yang meruwetkan ajaran Islam, adalah
justeru sunah-sunah yang ditambahkan hingga mengkaburkan antara wajib dan
sunnah. Dalam soal muamalah, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti
keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan pelaksanaan dari
dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh
mengenai hidup kemasyarakatan, tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat
diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap
fanatik di zamannya ia menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan.
Dalam hal-hal fundamental-lah yang perlu dipertahankan, yaitu persatuan umat.
Selanjutnya ia menganjurkan pembaruan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab
hukum.
Sebagaimana
disebutkan di atas, Rasyid Ridla mengakui terdapat faham fatalisme di kalangan
umat Islam. Menurutnya, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada
kemunduran umat Islam ialah faham fatalisme (‘aqidah al-jabr) itu. Selanjutnya
salah satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah faham
dinamis yang terdapat di kalangan mereka. Islam sebenarnya mengandung ajaran
dinamis. Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu
terkandung dalam kata jihad; jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi
pengorbanan, harta bahkan juga jiwa. Faham jihad inilah yang menyebabkan umat
Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
2. Pembaruan Rasyid Ridha dalam
Masalah Ijtihad
Sebagaimana
Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla sangat menghargai akal manusia, walaupun
penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya.
Akal dapat dipakai dalam menafsirkan ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad dalam soal ibadah tidak
lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi akal) dapat dipergunakan terhadap
ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap
persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan
hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridla, terletak dinamika Islam.
Lebih jauh, mengenai ijtihad,
Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada
ishlah (pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan
hujjah (argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah
dalam hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya
pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif
adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal
yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.”[2]
Mengenai ilmu
pengetahuan, menurut Rasyid Ridla, peradaban Barat modern didasarkan atas
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima
peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut Rasyid Ridla, karena
mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman
klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya
berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
3. Pan-Islamisme
Sebagaimana
al-Afghani, Rasyid Ridla juga melihat perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam.
Menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang
terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau bukanlah
kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi
kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju dengan
gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan gerakan
nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia menganggap bahwa faham
nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam.
Persaudaraan dalam islam tidak kenal pada perbedaan bangsa dan bahasa, bahkan
tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridla
tidak memberikan format yang jelas bagi bentuk kesatuan yang dimaksud. Ia hanya
menawarkan kekhalifahan yang sekaligus mengemban fungsi sebagai kepala negara.
Khalifah, menurutnya, karena mempunyai kekuasaan legislatif maka harus
mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama
merupakan pembantu-pembantunya yang uatama dalam soal memerintah rakyat.
Untuk
mewujudkan kesatuan umat itu, ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan
Utsmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul
dan kemudian menghapuskan sistem pemerintahan kekhalifahan. Selanjutnya ia
meletakkan harapan pada kerajaan Saudi Arabia setelah raja Abd Al-Aziz dapat
merebut kekuasaan di Semenanjung Arabia.
4. Kesamaan dan Perbedaan
Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha
1. Kesamaan ketiga tokoh tersebut dapat
diidentifikasi sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal pokok, yaitu:
Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam
ditafsirkan secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada zaman
tersebut. Mereka memerangi kestatisan umat Islam akibat adanya faham fatalisme
dan adanya sikap jumud di dalam tubuh umat Islam. Umat perlu dicerahkan dengan
menggali kembali pemikiran rasional yang telah lama padam. Tradisi Islam,
khususnya menurut Al-Afghani dan ‘Abduh, tidak hanya cukup sampai tradisi zaman
Rasulullah, para shahabat dan para kaum salaf saja seperti doktrin Wahhabi,
melainkan mereka percaya bahwa tradisi itu harus ditafsirkan secara rasional
jika hendak dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah.
Dari faham inilah, ketiganya mengemukakan bahwa pintu ijtihad harus dibuka
kembali. Taqlid buta adalah penghambat kemajuan, dan ijtihad adalah pintu
menuju kegemilangan umat Islam seperti yang telah pernah dicapai oleh umat
Islam pada zaman klasik.
Sama-sama
menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam terhadap ajaran Islam
itu sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, dengan cara
mengambil yang baik-baik dari pemikiran Eropa tersebut, misalnya metode
berpikir rasional yang membawa umat ke dalam kehidupan yang dinamis dan dalam
mengembangkan institusi-institusi modern. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau
menerima peradaban Barat yang positif. Barat maju karena mereka mau mengambil
ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian
mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali
ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
2. Adapun perbedaan di antara
ketiganya, bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa poin berikut ini:
Antara Al-Afghani
dan ‘Abduh terdapat perbedaan dalam pendekatan yang digunakan. Dalam melakukan
pembaruan, gerakan ‘Abduh lebih bersifat evolusi--mengadakan gerakan secara
bertahap (gradual). Sementara gurunya, Al-Afghani, cenderung revolusioner.
Dalam melakukan islah (pembaruan) al-Afghani menekankan perlunya perlawanan
terhadap otoritarianisme dan kolonialisme lewat provokasi. Sementara ‘Abduh
menekankan perlunya pendidikan dan latihan bagi masyarakat yang menurutnya
lebih penting daripada sosialisasi gerakan politik. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa: “Al-Afghani adalah aktivis yang intellektual, sedangkan ‘Abduh
adalah intellektual yang aktivis.”
Adapun
perbedaan antara ‘Abduh dan Rasyid Ridla, sebagaimana dikemukakan oleh Harun
Nasution (1992), adalah bahwa Muhammad ‘Abduh lebih liberal dari muridnya.
‘Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam
Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran. Sebaliknya, Rasyid Ridla masih
memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada pendapat-pendapat
Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau,
terdapat persamaan dengan faham wahhabiyyah. Dalam menafsirkan ayat tajassum,
misalnya, Muhammad ‘Abduh menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Ridla menafsirkannya
secara dzahiri sebagaimana juga ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 25--di dalam
tafsir Al-Manar--tentang balasan di akherat. ‘Abduh menekankan tafsiran
filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima di
kaherat adalah bersifat rohani. Sedangkan rasyid Ridla dalam komentarnya lebih
menekankan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohan
Bab III
Penutup
3.1 kesimpulan
Mulai
dari awal abad ke-10 H sampai dengan akhir abad ke-13 H, keadaan tasyri’ memang
cukup memprihatinkan. Adapun sebab-sebabnya ada beberapa faktor, yang antara
lain:
4.
para ulama hanya memusatkan perhatian untuk mempelajari
ibarat-ibarat yang sukar, tetapi mereka memutuskan hubungan dengan kitab-kitab
terdahulu yang bernilai cukup tinggi.
5.
Tidak adanya konsultasi dan kunjung mengunjungi diantara ulama dari
satu tempat ke tempat yang lain,
sedangkan hidup dan berkembangnya ilmu itu karena konsultasi dan saling
mengunjungi.
6.
Berkembangnya aneka macam susunan dalam satu disiplin ilmu, maka
tentu akan mempersulit bagi ulama yang ingin melangkah menuju jenjang ijtihad,
sebabnya harus melalui dahulu bermacam macam tumpukan kitab yang cukup banyak.
Dari seluruh yang
menjadi sebab dan kendala pada periode ini,myang sangat mendasar adalah jauhnya
ulama untuk menuju gelanggang ijtihad.
Namun pada bidang ushul fiqih mereka banyak mengalami keajuan,
yakni dengan mempelajari metode-metode yang telah dirumuskan oleh ulama
sebelumnya, menyempurnakan dan menganalisa hasil penerapan masing-masing metode
kepada furu’ fiqhiyah. Sehingga pada periode ini telah dihasilkan puluhan kitab
qawa’id fiqhiyah, seperti : al asybah wa-ak-nadhoir karya imam al-sayuthi
(wafat tahun 911 H), al qawanin al-fiqhiyah karya ibnu al-jizzi (wafat tahun
741 H), dan al qawa’id karya ibnu rajab (wafat tahun 790 H).
Secara umum, periode ini memang periode kemunduran, namun dengan
adanya limpahan rahmat Allah SWT masih ada ulama fuqoha yang bangun dari tidur
untuk melakukan ijtihad, dengan tidak menghiraukan cari maki dan umpatan. Mereka
terus jalan membawa pikiran ulama salaf yang sholih, diantara
mereka adalah al-Imam Muhammad bin ismail al-kahlani al-shon’ani dengan
karyanya subuh al-salam, dan imam al syaukani mengarang kitab hadits hukum yang
berujudul Nail al-Author.
Dan pada periode ke enam kebangkitan tasyri’
islam terus berlangsung
Beberapa pemikiran para ulama dalam
perkembangan tasyri’ islam sebagai berikut:
1. Kerangka
pemikiran muhammad ‘abduh
Pembaruan ‘Abduh dalam Masalah Ijtihad
Sesungguhnya
kehidupan sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal
baru yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Ijtihad adalah jalan
yang telah ada dalam syariat Islam sebagai sarana untuk menghubungkan hal-hal
baru dalam kehidupan manusia dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam
telah dibahas seluruhnya oleh para ulama terdahulu....”.
Selanjutnya,
menurut ‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang
muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Quran
dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki
perubahan menurut zaman.
Taklid buta pada
ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena
taklid di bidang muamalah menghentikan pikir dan akal
berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan
masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
2. Kerangka Pemikiran Muhammad
Bin Abd. Wahab
Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran
Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Esa yang mutlak
2. Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan
Hadits
3. Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan
pemberian amal
4. Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
5. Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
6. Percaya akan takdir
7. Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar
Menurutnya,
manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran
dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang
beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau
kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pandahulunya yang
menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti tidak menganggap
hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka kaum muslimin
pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.
Pemikiran-pemikiran
Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran
pembaharuan pada periode modern,[1] diantaranya:
d. Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran
Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber
e. Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
f. Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka
3. Kerangka Pemikiran Rasyid Ridha
Lebih jauh, mengenai ijtihad,
Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada
ishlah (pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan
hujjah (argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah
dalam hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya
pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif
adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal
yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.
Mengenai ilmu
pengetahuan, menurut Rasyid Ridla, peradaban Barat modern didasarkan atas
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima
peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut Rasyid Ridla, karena
mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman
klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya
berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
3.3 Saran
Kita tidak taklid boleh buta kepada para ulama agar tasyri islam’ selalu
bangkit dan tidak terjerumus kepada tasyri yang bukan berasal dari al-Quran,
hadist maupun sunnah ataupun sumber hukum islam yang lain, sehingga mampu
menyesatkan kita.
Daftar Pustaka
Hambali,
Hasanuddin dan Nurdin.2013.Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami.Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam Iain Smhb:Banten
Komentar
Posting Komentar