Total Pengunjung

PERANAN ULAMA DALAM BANGKITNYA KEMBALI TASYRI’ ISLAM

 MAKALAH TARIKH TASYRI’
PERANAN ULAMA DALAM BANGKITNYA KEMBALI TASYRI’ ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’
         logo_iain.png

Disusun oleh kelompok 3  :

Nadya Nurul Hidayah   151100383
Mazdalifah Taro            151100364          
Latansa Madiana Islam  151100373
Dewi Juniati                   151100400
Irfan Izzudin                  151100390
Masrudin                       151100340


JURUSAN HUKUM KELUARGA – A/2
IAIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
(FAKULTAS SYARIAH )
TAHUN AKADEMIK 2015/2016




BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Tarikh At-Tasyri’ atau sejarah perkembangan pembentukan (legislasi) Hukum Islam merupakan materi yang sangat urgen bagi peminat kajian hukum islam. Urgensi dan manfaat kajian tarikh tasyri’ terutama adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip dan tujuan syariat islam.
Selain itu dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari sahabat rasulullah hingga para imam mazhab dan murid-muridnya dalam mengisi khazanah ilmu peradaban kaum muslimin sehingga akan tumbuh dalam diri umat islam kebanggan terhadap syariat islam sekaligus optimism bahwa syariat islam menjadi solusi dan rahmat dalam menata berbagai problematika kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
1.2           Rumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang diatas, terdapat berbagai rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yg membuat tasyri’ islam bangkit?
2.      Bagaimana peranan ulama’ dalam tasyri’ islam?
1.3              Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, kita dapat mengetahui tujuan makalah ini sebagai berikut:
1.      untuk mengetahui bagaimana perkembangan bangkitnya islam
2.      untuk mengetahui peranan ulama dalam tasyri’ islam






BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Perkembangan Bangkitnya Tasyri’ Islam
Dengan kejatuhan Baghdad oleh hulagu khan raja mongol, maka berakhirlah periode kelima dalam tasyri’ al-islami. Pada prinsipnya perkembangan tasyri’ pada periode ini hanyalah terbatas dalam hal memperbaiki susunan materi fiqh, meneliti permasalahan-permasalahan para ulama terdahulu disamping berusaha menetapkan hukum bagi berbagai problema baru yang muncul di saat itu dengan melalui metode qiyas.
Pada masa itu, taklid sudah merajalela, akan tetapi bukan berarti ijtihad tidak ada, bahkan pada permulaan periode ini sejumlah orang yang tidak layak berijtihad, melakukan ijtihad. Maka al- Karakhi(440 H) mengeluarkan fatwa bahwa bagi yang ingin berijtihad supaya mengikuti madzhabnya. Sesungguhnya pada periode ini, tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan oleh sejarah sebagai produk pemikiran ilmiah yang menuju ke jenjang mujtahid. Namun walaupun serba sedikit, kita masih bisa memunculkan ulama yang berpengetahuan cukup luas, sebagai mujtahid madzhab.kenyataannya memang dalam kurun waktu itu sampai abad ke-13 para ulam fiqih cukup aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah, dan mengkritik hasil pemikiran fuqaha-fuqaha terdahulu walaupun hanya diungkapkan oleh imam madzabnya saja, seperti dalam kitab al-Majmu’ karya al-Nawawi,  al-Mustashfa dan Ihya Ulum al-Din  karya Al-Ghozali. Para fuqaha sangat giat meneliti dan mengklasifikasikan permasalahan fiqh, kemudian memperdebatkannya dalam forum-forum ilmiah untuk mendapatkan kesepakatan, mana yang sama dan mana yang berbeda kemudian mereka bukukan seperti al-Inshof karya al-Bathliyusi, Bidayah al-Mujahid karya Ibnu al-Rusyd, al-I’tishom karya al-Syatibi, al-Mizan karya al-Sya’roni, dan lain-lain yang merupakan cikal bakal bagi kelahiran fiqh Muqaran.
Langkah mundur terjadi pada saat ini dengan munculnya pendapat dikalangan fuqoha untuk tidak membuat pilihan fatwanya. Tidak boleh menentukan mana yang kuat dan mana yang lemah diantara pendapat imam-imam madzhab, serta tidak boleh berpegang langsung kepada al-Quran dan as-sunah dan harus bertaklid. Dan siapa yang dalam fatwanya keluar dari pendapat ulama madzhab empat, dipandang sesat(as-shiddiqi:184)
     Pada masa ini,tahapan tasyri’ dibagi menjadi dua bagian : dari tahun 650 H sampai dengan permulaan abad ke-10 H, dan dari awal abad ke-10 H hingga akhir abad ke-13 H. dari permulaan abad ketujuh sampai dengan abad kesepuluh, masih ditemukan ulama-ulama yang berbobot, baik dari segi ilmu maupun kemampuan berijtihadnya, seperti : Khalil al-malik al subki al-rimli, ibnu rif’ah, al kamal bin al-humam, al syayuthi dan lain sebagainya, tetapi ternyata mereka juga tidak mengaplikatifkan untuk takhrij dan ijtihad, cukup hanya memfokuskan diri untuk mengarang, menyusun dan mengumpulkan pendapat-pendapat dari kitab-kitab yang ada dengan cara mengikhtisar, mensyarah, membuat syarah dan membuat hasyiah , takmilah, koleksi fatwa, hasil penelitian fatwa-fatwa dan sebagainya. Yang terkadang isi dari arya mereka seakan-akan bentuk teka-teki yang sulit dipecahkan.
Mulai dari awal abad ke-10 H sampai dengan akhir abad ke-13 H, keadaan tasyri’ memang cukup memprihatinkan. Adapun sebab-sebabnya ada beberapa faktor, yang antara lain:
1.      para ulama hanya memusatkan perhatian untuk mempelajari ibarat-ibarat yang sukar, tetapi mereka memutuskan hubungan dengan kitab-kitab terdahulu yang bernilai cukup tinggi.
2.      Tidak adanya konsultasi dan kunjung mengunjungi diantara ulama dari satu  tempat ke tempat yang lain, sedangkan hidup dan berkembangnya ilmu itu karena konsultasi dan saling mengunjungi.
3.      Berkembangnya aneka macam susunan dalam satu disiplin ilmu, maka tentu akan mempersulit bagi ulama yang ingin melangkah menuju jenjang ijtihad, sebabnya harus melalui dahulu bermacam macam tumpukan kitab yang cukup banyak.

Dari seluruh yang menjadi sebab dan kendala pada periode ini,myang sangat mendasar adalah jauhnya ulama untuk menuju gelanggang ijtihad.
Namun pada bidang ushul fiqih mereka banyak mengalami keajuan, yakni dengan mempelajari metode-metode yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya, menyempurnakan dan menganalisa hasil penerapan masing-masing metode kepada furu’ fiqhiyah. Sehingga pada periode ini telah dihasilkan puluhan kitab qawa’id fiqhiyah, seperti : al asybah wa-ak-nadhoir karya imam al-sayuthi (wafat tahun 911 H), al qawanin al-fiqhiyah karya ibnu al-jizzi (wafat tahun 741 H), dan al qawa’id karya ibnu rajab (wafat tahun 790 H).
Secara umum, periode ini memang periode kemunduran, namun dengan adanya limpahan rahmat Allah SWT masih ada ulama fuqoha yang bangun dari tidur untuk melakukan ijtihad, dengan tidak menghiraukan cari maki dan umpatan. Mereka terus jalan membawa pikiran ulama salaf yang sholih, diantara mereka adalah al-Imam Muhammad bin ismail al-kahlani al-shon’ani dengan karyanya subuh al-salam, dan imam al syaukani mengarang kitab hadits hukum yang berujudul Nail al-Author.
Beberapa ulama pada periode keenam
Dalam pertumbuhan dan perkembangan tasyri’ islam akan sangat dipengaruhi oleh munculnya tokoh ulama yang ada dari masing-masing aliran mazhab. Secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:
1.         Pakar pakar fuqoha dari aliran hanafiyah
a.         Ibnu al-Humam, ialah Kamaluddin Muhammad bin Abdi al-Wahdi bin Abdi al-Hamid ibni Mas’ud al-Siwaisyi al-Iskandari, terkenal dengan Ibnu al-Huma. Seorang imam yang dapat memahami arti dan pokok-pokok syariat, tafsir, faraid, fiqh, lughoh, mantik dan musik. Lahir pada tahun 790 H dan wafat pada tahun 861 H, dan diantara tulisannya yang terpenting ialah: fathu al-Qodir syarah dari al-Hidayah, al-Tahrir dalam bidang ushul fiqh dan al-Musamarah dalam bidang ushul al-din.
b.         Al Nasafi, Abu al-Barakat hafiduddin Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasafi, wafat tahun 710 H. Beliau adalah seorang ulama ahli fiqh yang terkenal dari mazhab hanafi, dan beliau pun terkenal sebagai seorang musafir ulung. Diantara kitabnya ialah al-Madarik dalam ilmu tafsir, Kanzu al-Aqoiq, al-Wafi, al-Kafi (Syarrah al-Wafi), al-Musyasyafa dalam bidang fiqh dan al-Manar dalam bidang ushul fiqh.
c.         Al-Zaila’iy , Fakhruddin Usman bin Ali BIN Mihjan al- Zala’iy, sebagai seorang mufti di kairo, termasuk fuqoha hanafiyah. Diantara kitab yang beliau karang adalah: tabyin al-Haqoiq, Syarah al-Daqoiq, barokah al-Kalam fi Ahadits al-Ahkam, kemudian syarah al-jami’ al-Kabir.
d.         Al-A’ini, badrudin Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad al-‘aini, lahir pada tahun 762 H, wafat tahun 855 H, seorang ulama fiqh juga ahli sejarah. Diantara kitab karangannya ialah : umdah al-qori syarrah shohih bukhari, Maghoni al-Akhyar Syarrah Ma’ani al-Astar, nukhab al-Afkar, Syarrah al-Bihari al-Dzohiroh.
2.         Pakar-pakar fuqoha abad keenam dari aliran Malikiyah
a.         Ibnu al-Hajib, Jamaluddin Usman bin Umar bin Abi baker bin Yunus, lahir tahun 570 H, dan wafat tahun 646 H, karena ayahnya seorang penjaga pintu istana, maka ia dikenal dengan Ibnu al-Hajib. Di antara kitabnya ialah:  Muntaha al-Suh wa al-Amal, Mukhtashor  Muntahassul wa ala-Amal dan Jami’ al-Ummahat dalam soal fiqh.
b.         Kholil bin Ishak, bin Musa al-Jundi, wafat pada tahun 767 H, seorang ahli fiqh dari mazhab Malikik, seorang mufti di mesir. Diantara karangan nya ialah : al-mukhtashor yang disalain dalam nahasa prancis, kemudian syarah ibnu Al-hajib dan al-manasik.
c.         Ibnu juzai muhammad bin ahmad bin juzai al-kalibi, wafat pada tahun 741 H, seorang ulama besar dalam aliran malikiyah, telah mengarang kita : al-qawanin Al-fiqiyah, sebuah kitab yang meliputi pembahasan tentang ilmu kalam fiqh, sirah rasul, tarikh serta tashauf
d.         Al-kaththob, muhammad bin ahmad bin abdi rohman al-hathob, lahir pada tahun 902 H, dan wafat tahun 902 H. Beliau termasuk seorang ulama malikiah golongan tashauf, buku karangan nya ialah : al-qorrot al-‘ain, hidayat al-salik, muwahib al-jalil dan tahrir al-kalam.
3.         Para pakara fuqoha abad keenam dari madzhab Syafi’i
a.         Ibnu Abdi al-Salam, izuddin Abdu al-‘Aziz bin Abdi al-Salam al-Dimasqi, lahir pada tahun 694 H, dan wafat pada tahun 660 H dikenal dengan sebutan Raja Ulama, seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i yang mencapai tingkat mujtahid mutlak. Beliau lama memangkut jabatan seorang qodhi di Mesir, dan di antara kitab karangannya ialah: al-Fawaid al-Ghoyah, Mukhtashshor al-Nihayah, al-Qowaid al-Kubro, al-Qowaid al-Shughro dan al-Ri’ayah.
b.         Ibnu Jama’ah, Abdu al-‘Aziz bin Muhammad bin Ibrohim bin jama’ah al-Kinani al-Hamawi, lahir tahun 694 H dan wafat tahun 767 H. Beliau termasuk seorang ulama hadits dan Ketua Pengadilan. Buku karangannya antaralain: Bidayah al-Salik dan Takhrij Ahadits al-Rafi’i.
c.         Al-Bulqini, Sirajuddin Uamr bin Ruslah bin Masher al-Kinani al-Asqolani al-Syafi’i, seorang mujtahid dan Huffaz al-Hadits, lahir pada tahun 724 H, wafat tahun 805 H. Karangannya adalah: al-Tadrib dalam masalah fiqh, Tashhih al-Minhaj, al-Mulimmat, Mahasin al-Istilah dan hasyiyah al-Roudhoh.
d.         Jalaluddin al-Mahalli, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim al-Mahalli, seorang ulama ahli ushul dan ilmu tafsir serta ilmu fiqh. Di antara kitabnya adalah: Tafsir al-Jalalin, Kanzu al-Roghibin, Syarah Minhaj al-Tholibin, Syarah Jam’u al-Jawami’ dan Syarah al-waroqot.
4.         Pakar fuqoha mazhab hambali pada periode keenam
a.         Majdu al-Din al-Harani, Abu al-Barokat Abdu al-Salam bin Abdillah bin Abi al-Qosim al-Harani, lahir tahun 590 H dan wafat tahun 652 H, bergelar syaikh al-Islam, Nenek dari ibnu taimiyah. Terkenal sebab ulama fiqh, hadits dan tafsir serta ushul fiqh dan madzhab ulama islam. Diantara kitabnya ialah al-ahkam, syarah al-hidayah,m untaq al akabar, al muharror dalam ilmu fiqh.
b.         Imam ibnu taimiyah, taqiyudidn abu al-abbas ahmad bin abdi al-Salam bin Taimiyah al-Harani, lahir pada tahun 661 H dan wafat tahun 728 H. Seorang ulama bear imamah dari para imam mazhab, lautan ilmu pengetahuan, bergelar Syaikh al-islam. Di antara kitab-kitabnya ialah: Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah al-Jawab al-Shohih, al-tawassul wa al-Washilah, Bayanu al-Dalil ‘ala Buthlan al-Tahlil, Iqtidhou al-Shirot al-Mustaqim, Rof’u al-Malam, al-Siyasah Syari’iyah, Syarah al-Muharror, Syarah al-Umdah, al-Fatwa, dan sungguh masih banyak lagi yang dapat mengembalikan pancaran cahaya ijtihad terhadap kalangan ulama dan intelektual muslim modern.

2.2                 Pemikiran-pemikiran ulama tentang pembangkitan tasyri'

1.      Kerangka pemikiran muhammad ‘abduh
a)      Pembaruan ‘Abduh dalam Masalah Ijtihad
            Faham Ibn Taimiyyah yang menyatakan bahwa ajaran-ajran Islam terbagi ke dalam dua kategori: Ibadah dan Mu’amalah, diambil dan ditonjolkan oleh ‘Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Qur’an dan hadits bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan zaman.
Penyesuaian dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru. Untuk itu, Ijtihad perlu dibuka. Dalam kitab Tarikh Hashri al-Ijtihad dikutip pendapat ‘Abduh mengenai ijtihad sebagai berikut:
“Sesungguhnya kehidupan sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal baru yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang telah ada dalam syariat Islam sebagai sarana untuk menghubungkan hal-hal baru dalam kehidupan manusia dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam telah dibahas seluruhnya oleh para ulama terdahulu....”.
Selanjutnya, menurut ‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman.
                                    Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena taklid di bidang  muamalah  menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
                                    Pendapat tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata pada hati tetapi pada akal. Qur'an memberikan kedudukan yang tinggi bagi akal.  Islam, menurutnya adalah agama rasional. Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali mengikat tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang  bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan dengan akal, maka harus dicari interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami secara rasional. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa. Tentang hal ini Muhammad ‘Abduh berkata:
“Mesti ada suatu pembebasan akal dari belenggu taqlid, dan mesti memahami agama sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh pada kaum salaf sebelum terjadi perpecahan.......dan umat Islam mesti berpaling kepada kekuatan akal sebagai kekuatan terbesar manusia.
b)        Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Islam (Pendidikan)
                                    Seperti dikutip Fazlur Rahman, ‘Abduh menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam (sunnatullah, yang tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan Allah SWT. Wahyu juga berasal dari Allah. Jadi, karena keduanya datang dari Allah, tidak dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai dengan Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi ilmu pengetahuan. Dengan penuh semangat, ‘Abduh menyuarakan penggalian sains dan penanaman semangat ilmiah Barat. Kemajuan Eropa ia tegaskan karena belahan dunia ini telah mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Ia membantah bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis kehidupan modern.
            Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, ‘Abduh berupaya untuk memperbarui pendidikan dan pelajaran modern, yang dimaksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu menyelesaikan persoalan modern. Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.
                                    Program yang diajukannya--sebagai salah satu fondasi utama--adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Menurutnya, sekolah negeri (sekuler) harus diwarnai dengan agama yang kuat. Namun, rupanya, pendapatnya itu mendapat tantangan berat dari ulama konservatif yang belum mengetahui faedah dari perubahan yang dianjurkan ‘Abduh.
                                    Keberatan final ‘Abduh berkenaan dengan upaya meniru pendidikan Barat disebabkan pengalaman bahwa orang yang meniru bangsa lain, dan meniru adat bangsa lain, membukakan pintu bagi masuknya musuh. Segelintir orang yang terbaratkan telah menggunakan slogan asing, seperti “kebebasan, nasionalisme, etnisitas”.
            ‘Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki dan perempuan. Semuanya harus punya kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Semuanya harus mendapat pendidikan agama, yang mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan antara Kristen dan Islam.
            Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan minimum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka. Kurikulum sekolah ini harus meliputi: (1) buku ikhtisar doktrin Islam yang  berdasarkan ajaran Sunni dan tidak  menyebut-nyebut perbedaan sektarian; (2) teks ringkas yang memaparkan secara garis besar fondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan mana yang benar dan yang salah; dan (3) teks ringkas sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan shahabat, dan sebab-sebab kejayaan Islam.
            Sedangkan untuk sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, militer, kedokteran, atau ingin bekerja ada pemerintah. Kurikulumnya haruslah meliputi, antara lain: (1) buku yang memberikan pengantar pengetahuan, seno logika, prinsip penalaran; (2) teks tentang doktrin, yang menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindarkan konflik, pembahasan lebih irnci mengenai perbedaan antara Kristen dan Islam, dan keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akherat; (3) teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin; serta (4) teks sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam.
                                    Adapun pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulum yang lebih lengkap, mencakup: (1) tafsir al-Qur’an; (2) ilmu bahasa dan bahasa Arab; (3) ilmu hadis; (4) studi moralitas (etika); (5) prinsip-prinsip fiqh; (6) seni berbicara dan meyakinkan; dan (7) teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.
c)        Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Keluarga dan Wanita
            Menurut ‘Abduh, blok bangunan terpenting dari masyarakat baru adalah individu. Umat terdiri dari unit-unit keluarga. Kalau unit-unit ini tidak memberikan lingkungan yang sehat dan fungsional bagi perkembangan individu di dalamnya, maka masyarakat akan ambruk. Abduh berkata:
“Sesungguhnya umat terdiri rumah-rumah (unit-unit keluarga). Jika unit-unit keluarga baik, maka umat pun akan baik. Barangsiapa yang tidak memiliki keluarga maka ia pun tidak memiliki umat. Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang memiliki hak, kebebasan beraktivitas, perasaan, dan akal yang sama. Dan ketahuilah bahwa laki-laki yang berupaya menindas wanita supaya dapat menjadi tuan dirumahnya sendiri, berarti menciptakan generasi budak...”
                                    Menurut ‘Abduh, jika wanita memang punya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tak berlaku lagi. Di tempat lain, dia menulis, bahwa menurut al-Qur’an ada dua jenis wanita, wanita saleh dan wanita durhaka. kepemimpinan pria berlaku hanya terhadap istri yang mengacau atau durhaka.
            ‘Abduh juga berpendapat bahwa, penyebab perpecahan atau firnah dalam masyarakat adalah karena pria mengumbar hawa nafsunya. Tak seperti penulis kontemporer lainnya, dia tak mengatakan bahwa penyebabnya adalah karena wanita, atau karena kapasitas wanita untuk membangkitkan gairah seks pria.
              



Berikut ini adalah argumentasi ‘Abduh dalam memperotes poligami:
1.   Jika seorang wanita dapat dimiliki oleh semua pria, dan setiap wanita boleh jadi pasangan setiap pria, maka api kecemburuan akan berkobar di hati manusia, dan masing-masing akan berupaya membela keinginanya. Ini akan menyebabkan pertumpahan darah.
2.   Wanita pada sifatnya tak mampu menyediakan kebutuhan hidupnya, dan tak mampu melindungi dirinya dari bahaya, khususnya ketika sedang hamil dan melahirkan. Kalau pria tak  menyadari tanggung jawab memebelanya dan hak-haknya, maka dia dan keturunannya akan  mendapat bahaya.
3.   Pria Muslim baru akan terdorong untuk bekerja keras agar menjadi pemerhati tanggungannya yang baik. Kalau tak ada istri dan anak dia tidak akan mendapat masa depan. Jika keturunannya tak jelas, maka pria tak akan berjuang menafkahi anak seperti itu.
4.   Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristri lebih dari satu. Maka karena keadilan dalam poligami itu mustahil, maka poligami harus dilarang. [makalah ditulis oleh harja saputra, tahun 2001]
2.      Kerangka pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab
Ia membagi ketauhidan menjadi dua, yaitu tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah. Tauhid uluhiyah artinya tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allalh, yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Selain itu hanya berbakti kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepadanya. Sedangkan tauhid rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tapi tidak dengan mengabdi kepada Allah.
Dalam pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab, tauhid uluhiyah inilah yang dibawa oleh para nabi dan rasul, smentara tauhid rububiyah hanyalah bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada selain Allah. Dengan demikian ia berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik. Seperti mengunjungi makam para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka.
Menurut Muhammad bin Abd. Wahab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama dalam pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan atau contoh merupakan metode pendidikan yang paling efektif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab agar umat manusia kembali kepada Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi manusia.
a)      Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Esa yang mutlak
2.      Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan Hadits
3.      Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan pemberian amal
4.      Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
5.      Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
6.      Percaya akan takdir
7.      Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar
Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka kaum muslimin pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.
                        Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern,[1] diantaranya:
a.       Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber
b.      Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
c.       Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka


3.         Kerangka Pemikiran Rasyid Ridha

1. Bid’ah dan Faham Fatalisme: Penyebab Kemunduran Umat Islam
Hampir tidak jauh berbeda pemikiran Rasyid Ridha mengenai pembaruannya dengan para gurunya, yaitu Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-ajaran agama mengalami kesalahan dan perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam yang hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Menurut Rasyid Ridha, di antara bid’ah-bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Bid’ah lain yang ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.
Umat, demikian menurut Rasyid Ridha, harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadat dan sederhana dalam muamalatnya. Yang meruwetkan ajaran Islam, adalah justeru sunah-sunah yang ditambahkan hingga mengkaburkan antara wajib dan sunnah. Dalam soal muamalah, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap fanatik di zamannya ia menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal fundamental-lah yang perlu dipertahankan, yaitu persatuan umat. Selanjutnya ia menganjurkan pembaruan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, Rasyid Ridla mengakui terdapat faham fatalisme di kalangan umat Islam. Menurutnya, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah faham fatalisme (‘aqidah al-jabr) itu. Selanjutnya salah satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah faham dinamis yang terdapat di kalangan mereka. Islam sebenarnya mengandung ajaran dinamis. Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu terkandung dalam kata jihad; jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi pengorbanan, harta bahkan juga jiwa. Faham jihad inilah yang menyebabkan umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
2. Pembaruan Rasyid Ridha dalam Masalah Ijtihad

Sebagaimana Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla sangat menghargai akal manusia, walaupun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam menafsirkan ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi akal) dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridla, terletak dinamika Islam.

Lebih jauh, mengenai ijtihad, Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada ishlah (pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah (argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah dalam hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.”[2]

Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridla, peradaban Barat modern didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut Rasyid Ridla, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
3. Pan-Islamisme
Sebagaimana al-Afghani, Rasyid Ridla juga melihat perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam. Menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia menganggap bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam. Persaudaraan dalam islam tidak kenal pada perbedaan bangsa dan bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridla tidak memberikan format yang jelas bagi bentuk kesatuan yang dimaksud. Ia hanya menawarkan kekhalifahan yang sekaligus mengemban fungsi sebagai kepala negara. Khalifah, menurutnya, karena mempunyai kekuasaan legislatif maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-pembantunya yang uatama dalam soal memerintah rakyat.

Untuk mewujudkan kesatuan umat itu, ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan Utsmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian menghapuskan sistem pemerintahan kekhalifahan. Selanjutnya ia meletakkan harapan pada kerajaan Saudi Arabia setelah raja Abd Al-Aziz dapat merebut kekuasaan di Semenanjung Arabia.
4. Kesamaan dan Perbedaan Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha
           
1.       Kesamaan ketiga tokoh tersebut dapat diidentifikasi sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal pokok, yaitu:

                                     Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam ditafsirkan secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada zaman tersebut. Mereka memerangi kestatisan umat Islam akibat adanya faham fatalisme dan adanya sikap jumud di dalam tubuh umat Islam. Umat perlu dicerahkan dengan menggali kembali pemikiran rasional yang telah lama padam. Tradisi Islam, khususnya menurut Al-Afghani dan ‘Abduh, tidak hanya cukup sampai tradisi zaman Rasulullah, para shahabat dan para kaum salaf saja seperti doktrin Wahhabi, melainkan mereka percaya bahwa tradisi itu harus ditafsirkan secara rasional jika hendak dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah. Dari faham inilah, ketiganya mengemukakan bahwa pintu ijtihad harus dibuka kembali. Taqlid buta adalah penghambat kemajuan, dan ijtihad adalah pintu menuju kegemilangan umat Islam seperti yang telah pernah dicapai oleh umat Islam pada zaman klasik.
                                    Sama-sama menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, dengan cara mengambil yang baik-baik dari pemikiran Eropa tersebut, misalnya metode berpikir rasional yang membawa umat ke dalam kehidupan yang dinamis dan dalam mengembangkan institusi-institusi modern. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang positif. Barat maju karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
2.       Adapun perbedaan di antara ketiganya, bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa poin berikut ini:

                                    Antara Al-Afghani dan ‘Abduh terdapat perbedaan dalam pendekatan yang digunakan. Dalam melakukan pembaruan, gerakan ‘Abduh lebih bersifat evolusi--mengadakan gerakan secara bertahap (gradual). Sementara gurunya, Al-Afghani, cenderung revolusioner. Dalam melakukan islah (pembaruan) al-Afghani menekankan perlunya perlawanan terhadap otoritarianisme dan kolonialisme lewat provokasi. Sementara ‘Abduh menekankan perlunya pendidikan dan latihan bagi masyarakat yang menurutnya lebih penting daripada sosialisasi gerakan politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa: “Al-Afghani adalah aktivis yang intellektual, sedangkan ‘Abduh adalah intellektual yang aktivis.”
            Adapun perbedaan antara ‘Abduh dan Rasyid Ridla, sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution (1992), adalah bahwa Muhammad ‘Abduh lebih liberal dari muridnya. ‘Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran. Sebaliknya, Rasyid Ridla masih memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau, terdapat persamaan dengan faham wahhabiyyah. Dalam menafsirkan ayat tajassum, misalnya, Muhammad ‘Abduh menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Ridla menafsirkannya secara dzahiri sebagaimana juga ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 25--di dalam tafsir Al-Manar--tentang balasan di akherat. ‘Abduh menekankan tafsiran filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima di kaherat adalah bersifat rohani. Sedangkan rasyid Ridla dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohan










Bab III
Penutup
3.1       kesimpulan
                       Mulai dari awal abad ke-10 H sampai dengan akhir abad ke-13 H, keadaan tasyri’ memang cukup memprihatinkan. Adapun sebab-sebabnya ada beberapa faktor, yang antara lain:
4.      para ulama hanya memusatkan perhatian untuk mempelajari ibarat-ibarat yang sukar, tetapi mereka memutuskan hubungan dengan kitab-kitab terdahulu yang bernilai cukup tinggi.
5.      Tidak adanya konsultasi dan kunjung mengunjungi diantara ulama dari satu  tempat ke tempat yang lain, sedangkan hidup dan berkembangnya ilmu itu karena konsultasi dan saling mengunjungi.
6.      Berkembangnya aneka macam susunan dalam satu disiplin ilmu, maka tentu akan mempersulit bagi ulama yang ingin melangkah menuju jenjang ijtihad, sebabnya harus melalui dahulu bermacam macam tumpukan kitab yang cukup banyak.

Dari seluruh yang menjadi sebab dan kendala pada periode ini,myang sangat mendasar adalah jauhnya ulama untuk menuju gelanggang ijtihad.
Namun pada bidang ushul fiqih mereka banyak mengalami keajuan, yakni dengan mempelajari metode-metode yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya, menyempurnakan dan menganalisa hasil penerapan masing-masing metode kepada furu’ fiqhiyah. Sehingga pada periode ini telah dihasilkan puluhan kitab qawa’id fiqhiyah, seperti : al asybah wa-ak-nadhoir karya imam al-sayuthi (wafat tahun 911 H), al qawanin al-fiqhiyah karya ibnu al-jizzi (wafat tahun 741 H), dan al qawa’id karya ibnu rajab (wafat tahun 790 H).
Secara umum, periode ini memang periode kemunduran, namun dengan adanya limpahan rahmat Allah SWT masih ada ulama fuqoha yang bangun dari tidur untuk melakukan ijtihad, dengan tidak menghiraukan cari maki dan umpatan. Mereka terus jalan membawa pikiran ulama salaf yang sholih, diantara mereka adalah al-Imam Muhammad bin ismail al-kahlani al-shon’ani dengan karyanya subuh al-salam, dan imam al syaukani mengarang kitab hadits hukum yang berujudul Nail al-Author.
Dan pada periode ke enam kebangkitan tasyri’ islam terus berlangsung
Beberapa pemikiran para ulama dalam perkembangan tasyri’ islam sebagai berikut:
1.         Kerangka pemikiran muhammad ‘abduh
Pembaruan ‘Abduh dalam Masalah Ijtihad
Sesungguhnya kehidupan sosial manusia selalu mengalami perubahan, selalu terdapat hal-hal baru yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang telah ada dalam syariat Islam sebagai sarana untuk menghubungkan hal-hal baru dalam kehidupan manusia dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam telah dibahas seluruhnya oleh para ulama terdahulu....”.
Selanjutnya, menurut ‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan langsung pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman.
                                    Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan Abduh memeranginya. Karena taklid di bidang  muamalah  menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
2.         Kerangka Pemikiran Muhammad Bin Abd. Wahab
Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Esa yang mutlak
2.      Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan Hadits
3.      Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan pemberian amal
4.      Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
5.      Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
6.      Percaya akan takdir
7.      Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar
Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, syekh atau kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka kaum muslimin pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.
                        Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern,[1] diantaranya:
d.      Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber
e.       Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
f.       Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka

3.         Kerangka Pemikiran Rasyid Ridha
Lebih jauh, mengenai ijtihad, Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada ishlah (pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah (argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah dalam hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.
Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridla, peradaban Barat modern didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian menurut Rasyid Ridla, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
3.3       Saran
Kita tidak taklid boleh buta kepada para ulama agar tasyri islam’ selalu bangkit dan tidak terjerumus kepada tasyri yang bukan berasal dari al-Quran, hadist maupun sunnah ataupun sumber hukum islam yang lain, sehingga mampu menyesatkan kita.










Daftar Pustaka
Hambali, Hasanuddin dan Nurdin.2013.Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami.Fakultas Syariah dan     Ekonomi Islam Iain Smhb:Banten

















Komentar

Postingan Populer

Keutamaan Taubat: Tanqihul Qaul

Keutamaan Nikah: Tanqihul Qaul

Fawatih As-suwar