Total Pengunjung

Wajib, Haram, Makruh, Sunnah, Mubah (Ahkam Al-khamsah) menurut hukum Islam

MAKALAH HUKUM ISLAM
Ahkam Al-Khamsah Beserta Contohnya
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Islam
dosen pengajar: Prof. Dr. H. Suparman Usman S.H.

*catatan: dilarang keras memplagiasi tulisan ini, menulis ulang tulisan disini tanpa sumber. 
                
        
Disusun oleh
1.                 Nadya Nurul Hidayah         151100383
HUKUM KELUARGA – A/IV
FAKULTAS SYARIAH
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2017



Bab I
Pendahuluan
1.1       Latar Belakang
Sudah menjadi pengetahuan masyarakat bahwa dalam hukum islam  terdapat lima hukum yang merupakan dasar setiap perilaku umat Islam. Hal itu adalah wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Tapi , meskipun lima hukum itu merupakan dasar dari setiap perbuatan umat Islam. Masih banyak yang tidak mengetahui makna sebenarnya dari semua dasar ini karena ketidakpahaman tentang hal ini. Sehingga mereka dengan senang hati melakukan perbuatan yang dianggap haram oleh Islam. Padahal, sebenarnya keharaman haruslah sangat dijauhi oleh setiap orang yang beragama Islam. Karena, ganjarannya adalah dosa yang bisa mengakibatkan setiap orang yang memeluk agama ini untuk memasuki neraka.
Kemudian ketika batasan-batasan yang terdapat dalam kelima hukum ini dilanggar, maka bukan hanya aspek akhirat saja yang terkena dampaknya. Aspek dunia juga akan mengalami akibat itu. Hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya akan kacau balau seperti sebuah pesawat yang jatuh dari angkasa secara tiba-tiba, atau seperti pot bunga dari tanah liat yang pecah karena ditabrak batasannya. Manusia dan seluruh makhluk hidup yang tinggal di bumi akan terancam punah, karena tidak adanya perdamaian dan batasan seperti dalam kelima hukum ini.
Maka dari itu, saya akan menjelaskan tentang kelima hukum  ini yang dalam bahasa arab bahwa wajib, sunnah, makruh, mubah, haram disebut dengan Ahkam Al-khamsah. Makalah ini akan menyertakan contohnya pula agar pembaca dapat memahaminya lebih mendalam.



1.2       Rumusan Masalah
Untuk mengetahui pembahasan lebih jelas maka kita akan menjelaskan rumusan masalah sebagai berikut:
A.        Apa itu Ahkam Al-khamsah dan bagaimana contohnya?
B.        Bagaimana istinbath ahkam al-khamsah dengan pendekatan bahasa?
C.        Bagaimana istinbath ahkam al-khamsah dengan Maqashid syariah?
1.3       Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan:
A.        Untuk mengetahui Ahkam Al-khamsah beserta contohnya.
B.        Untuk mengetahui istinbath(penetapan hukum) ahkam al-khamsah dengan pendekatan bahasa.
C.        Untuk istinbath(penetapan hukum) ahkam al-khamsah dengan Maqashid syariah.










Bab II
Pembahasan
2.1       Ahkam al-khamsah dan contohnya
Ahkam al-khamsah berarti hukum yang lima. Lebih tepatnya dasar-dasar hukum islam yang menjadi tolak ukur tentang setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Kelima hukum itu adalah wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Ahkam al-khamsah masuk ke dalam hukum taklifi. Karena, hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah yang berhubung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah (anjuran untuk melakukan), larangan (anjuran untuk tidak melakukan) atau dalam bentuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat. Kemudian, Hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batasan kemampuan seorang mukallaf seperti wajib, haram, sunnah, makruh, mubah.
Berikut dibawah penjelasan tentang ahkam al-khamsah yang masuk ke dalam hukum taklifi:
A.    Wajib
Wajib menurut bahasa arab berarti: tetap, wajib mesti.[1] Kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti seuatu  yang harus  dilakukan;tidak boleh  tidak dilakukan  (ditinggalkan).[2] dan pada padanan kata wajib yang terkenal adalah fardhu(فرض) menurut ulama ushul fiqh adalah:
1. Menurut Ulama Ushul Fiqh dalam buku Karya Masduki, wajib yaitu:
فعله من المكان طلبا حتما  ما  طلب الشرع
Sesuatu yang dituntut Asy-Syari’ untuk mengerjakannya dengan cara yang tegas dan pasti[3]
2. Menurut Abdul Hamid Hakim, wajib yaitu:
ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
"Sesuatu yang dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan siksa."[4]
3. Menurut Prof. Suparman Usman, guru besar UIN Banten.
"Apabila sesuatu yang bernilai sunnah manfaatnya begitu sangat penting dalam hidup kemasyarakatan dan kemanusiaan, maka sesuatu itu bukan hanya dianjurkan tapi merupakan suatu keharusan untuk mengerjakannya. Nilainya akan meningkat dari anjuran mengerjakan meenjadi sesuatu yang wajib dikerjakan. Mereka yang mengerjakan kewajiban akan merasakan manfaatnya dan akan mendapat pahala(kelak), sedang mereka yang meninggalkan kewajiban akan mendapat sanksi hukuman(siksa). Hukuman bisa berupa penderitaan jiwa, badan, kehormatan, kebebasan, pengorbanan harta.”[5]
4. Menurut Prof Dr. Amir Syarifuddin dalam buku karya Mardani,
"Wajib yaitu: tuntutan untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali ditinggalkan, sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan tidak dapat sama sekali ditinggalkan, sehingga orang yang meninggalkan patut mendapat ancaman Allah.”[6]
Wajib bisa dilihat dari beberapa segi,
A) wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaanya
1) wajib muthlaq(الواجب المطلق) yaitu suatu yang dituntuy asy-syari untuk dikerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, mukallaf boleh mengerjakannya pada waktu yang ia kehendaki, tidak ada dosa walaupun mengakhirkannya. Namun sebaiknya segera dikerjakan karena ajal seseorang tidak tahu kapan ia meninggal.
2) wajib muqayyad atau wajib mu'aqqat (الواجب الموقت) yaitu perbuatan yang dituntut asy-syari' untuk melaksanakannya dengan ditentukan waktunya, seperti shalat fardhu lima waktu dan puasa Ramadhan. Maka tidak boleh mengerjakannya di luar waktu yabg telah ditentukan, boleh mengerjakannya di luar waktu yang telah ditentukan, maka berdosalah bagi yang mengakhirkannya tanpa ada udzur atau alasan yang disyariatkan.
Mazhab hanafi membagi wajib muqayyad ke dalam tiga macam.
a) wajib al-muwassa'(الواجب المقيد الموسع) wajib yang ditentukan waktunya tetapi mempunyai keleluasaan, yaitu waktu pelaksanaannya ditentukan oleh Syari' dan juga ada kesempatan untuk mengerjakan yang lain yang sejenis,
(b) wajib mudhayyaq (الواجب المقيد او الموقت المضيق), wajib yang ditentukan waktunya dengan sempit , yaitu waktunya yang dibatasi untuk mengerjakan satu pekerjaan saja.
c) wajib dzu asy-syibhain (الوجب المقيد او الموقت ذو الشبهين) yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat tersebut di atas. Dari satu segi disebut muwassa' dan dari segi lain ialah mudhayyaq. Misalnya Ibadah haji,...
(B) Dilihat dari segi jumlah atau kadar yang telah ditentukan, maka wajib dibagi kepada:
1)      wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya, misalnya kadar zakat fitrah, kadar (nishab) zakat mal.
2)      wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang pelaksanaanya yang tidak ditentukan ukurannya, misalnya: nafkah untuk keluarga tidak ditentukan kadarnya, tergantung kemampuan suami.
(C) Ditinjau dari segi kandungan perintah, hukum wajib dibagio nkepada :
1)      wajib muayyan, yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya seperti kewajiban puasa ramadhan, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.
2)      wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang objeknya boleh pilih antara beberapa alternatif, misalnya kewsajiban membayar kafarat yang telah dijelaskan dalama surah Al-Maidah(5): 89:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi sepiuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepad akeluargamu , atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari,. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamuhukum.-hukumnya agar kamu bersyukur kepada-Nya.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang melanggar sumpah, dikenakan kafarat. Jenis kafaratnya boleh memilih antara beberapa macam kafarat tersebut.
Ayat lain yang menjelaskan tentang wajib mukhayyar adalah surah Muhammad (47):4:
Apablia kamu bertemu dengan orang orang kafir (di medan perang) maka pancung lah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanan lah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka/menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikian lah apabila ALLAH menghendaki niscaya ALLAH akan membebaskan membinasakan mereka tetapi ALLAH hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang orang yang syahid kepada jalan ALLAH ,ALLAH tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.
(D) wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, maka dibagi kepada:
1)      wajib ‘aini (fardhu ‘ain)
Yaitu kewajiban yang disebabkan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf) tanpa kecuali.
Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur, kecuali dilakukannya sendiri. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat lima kali sehari semalam, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan/puasa, dan melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.
Berkaitan dengan kewajiban seperti ini, muncullah suatu pertanyaan, di waktu tidak mampu melakukan sendiri atau telah meninggal dunia, apakaah bisa gugur kewajiban itu? Ulama ushul fiqh membagi hal tersebut kepada tiga kategori. (1) kewajiban yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat, atau kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepda pemiliknya. Kewajiban seperti ini disepakati pelaksanaannya bisa digantikan oleh orang lain, (2) kewajiban dalam bentuk ibadah mahdhah, seperti shalat dan puasa. Kewajiban seperti ini tidak bisa digantikan oleh orang lain , dan (3) kewajiban yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Misalny, kewajiban melaksanakan haji. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, menurut malikiyah dan hanafiyah, ibadah haji tidaj boleh diigantikan, sedangkan menurut jumhur ulama boleh digantikan. Mereka berdalih kepada hadits berikut.
“dari Ibnu Abbas. Bahwa seorang wanita dari suku  Juhainah menemui Nabi SAW., dan berkkata,’sesungguhnya ibuku pernah bernazar untuk menunaikan haji dan dia belum sempat berhaji hingga wafatnya, apakah aku harus melakukan haji atas namanya? ‘beliau bersabda,’Ya, berhajilah atas namanya. Bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai tanggungan utang?, bukankah kamu harus membnayarnya? Bayarlah tanggungan Allah, karena tanggungan Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi” (HR Bukhari).
2)      wajib kifa’i (fardhu kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan untuk melaksanakannya. Misalnya pelaksanaan  shalat jenazah.
B.     Nadb/Mandub/Sunnah
1.      Menurut Abdul Wahan Khallaf.
ما طلب فعله من المكلف طلب غير حتم
"Mandub yaitu tuntutan kepada seorang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu secara tidak pasti."
2.      Menurut abdul hamid hakim
ما يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه
“Mandub adalah sesuatu jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan tidak mendapat dosa."
3.      Menurut Prof. Suparman
Sesuatu yang mubah yang bisa mendatangkan kebaikan itu, menjadilah hal itu sesuatu yabg digemari, disukai, dan merupakan perbuatan terpuji apabila melakukannya. Dalam keadaan demikian sesuatu yang mubah itu nilainya meningkat menjadi sesuatu yang dianjurkan. Kriteria ini dalam penilaian Ahkam al-khamsah dinamai Sunnah. Mereka yang melakukan Sunnah akan mendapatkan manfaat dan pahala (kelak(, dan masyarakat akan menyenangi dan mungkin memberikan pujian kepadanya. Sedang yang meninggalkan sunnah tidak akan mendapat dosa, hanya akan mendapat perlakuan yang tidak disenangi oleh masyarakat.


(A) Jika dilihat dari segi selalu atau tidak selalunya, Nabi melakukan perbuatan sunnah, maka sunnah terdapat dua pendapat dari kalangan ulama Ushul Fiqh:
•      Menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam buku karya Dr. Mardani disebutkan
1.     Sunnah muakkad, yaitu sunnah-sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi Saw., disamping ada keterangan bahwa perbuatan itu, bukan perbuatan fardhu, contohnya shalat witir.
2.     Sunnah ghairu muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan oleh Nabi Saw., tetapi tidak terus menerus dilakukan contohnya memebri sedekah kepada orang miskin, shalat sunnah 4 rakaat sebelum zuhur dan sebelum ashar. Untuk perbuatan seperti ini digunakan kata nafal, mustahab, ihsan, tathawwu.[7]
•      Menurut Abdul Karim Zaidan dalam buku karya Masduki, disebutkan dua hukum yang sama dengan pendapat Amir Syarifuddin tapi ada penambahan satu jenis sunnah yaitu:
1.     Sunnah Zawa’id, fadhilah atau adab, yaitu sunnah tambahan seperti mengikuti adat kebiasaan Nabi SAW sebagai manusia biasa yang mempunyai adat adat dan kebiasaan, seperti mengikuti cara makan, minum atau tidurnya.[8]

(B)  Dilihat dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, mandub atau sunnah dibagi kepada:
1.     Sunnah Huda, yaitu sesuatu yang pelaksanaanya dimaksudkan sebagai penyempurna untuk kewajiban agama, contohnya seperti adzan dan shalat berjamaah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggap sesat dan tercela, bahkan bila satu kelompok kaum sengaja meninggalkannya secara terus menerus, maka kelompok ini harus diperangi.
2.     Sunnah Zaidah, yaitu sesuatu yang biasa dikerjakan Nabi dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti etika makan, minum, tidur berpakaian bila seseorang mengerjakan hal itu, maka itu baik baginya,sedangkan bila ia meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa.
3.     Nafal, yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib, seperti shalat sunnah lima waktu  yang mengiringi shalat wajib, shalat tahajjud dan shalat witir.
C.     Haram/Tahrim/Mahrum
Secara bahasa haram berarti sesuatu yang dilarang.
Haram juga memili pengertian yang berbeda-beda menurut Ulama Ushul Fiqh sebagai berikut:
1. Menurut Dr. Mardani
ماطلب الشارع الكف عن فعله طلب حتما
“tuntutan Syari'(Allah dan Rasul-Nya) kepada seorang mukallaf untuk meninggalkannya secara pasti.(dengan arti yang dituntut harus meninggalkannya)”

2. Menurut Abdul Karim Zaidan dalam buku karya Masduki M.A.
ماطلب الشارع الكف عنه على وجه الحتم والازم
“sesuatu yang dituntut Asy-syari’ untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat,”
3. Menurut Prof. Suparman
“Selanjutnya apabila  sesuatu yang bernilai makruh dapat menimbulkan kerusakan, dan bahaya bagi kehidupan manusia dan kemasyarakatan, maka meninggalkan sesuatu itu merupakan suatu keharusan. Nilainya akan meningkat dari anjuran meninggalkan , menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan dan haram atau terlarang untuk mengerjakannya. Mereka yang meninggalkan larangan tersebut akan merasakan manfaat dalam kehidupannya dan akan mendapat pahala. Sedang mereka yang mengerjakan larangan tersebut, akan merasakan kesulitan dalam hidupnya dan diancam dengan sanksi hukuman(siksa).”
4. Menurut Abdul Hamid Hakim
ما يثاب تركه على ويعاقب على فعله
“sesuatu yang mendapatkan pahala jika ditinggalkan dan mendapatkan siksa jika dikerjakan”

Kemudian haram bisa ditinjau dari dua bagian:
1.     Haram  li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri, seperti haramnya makan bangkai, minum khamr, berzina, dan mencuri. Bahaya perbuatan tersebut berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga (adh-dharuriyat al-khams), yaitu badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.
2.                Haram li-ghairihi yaitu perbuatan yang dilarang oleh Syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan itu dapat menimbulkan haram li-dzatihi, contohnya jual-beli barang-barang riba yang diharamkan, karena dapat menimbulkan riba, yang diharamkan dzari’ahnya. Contoh lain poligami dengan perempuan yang masih ada hubungan mahram dengan istri adalah haram, karena dapat menyebabkan putusnya hubungan persaudaraan yang dilarang oleh Allah Swt., sedangkan memurtus tali persaudaraan haram dzatiahnya.

D.    Makruh/Karahah
Menurut bahasa, makruh berarti yang dimurkai atau dibenci.
Sedangkan menurut Ulama Ushul Fiqh sebagai berikut:
1.             Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam buku karya Masduki:
ما طلب الشرع من المكلاف الكلف عن فعله طلب غير حتم
“sesuatu yang dituntut oleh Syari’ kepada mukallaf untuk tidak berbuat dengan tuntutan yang tidak tegas”
2.      Menurut Abdul Hamid Hakim
ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله
“sesuatu yang dikerjakan mendapat pahala dan jika dtinggalkan tidak mendapat siksa,”
3.      Menurut Prof. Suparman Usman
Sebaliknya kalau sesuatu yang mubah itu dapat menimbulkan akibat buruk bagi kemanusiaan dan masyarakat, maka hal ini akan menjadi sesuatu yang tidak disenangi, sesuatu yang dibenci, dicela. Dalam pandangan masyarakat meninggalkan hal ini lebih baik dari mengerjakannya. Berarti penilaian mubah itu menjadi meningkat.Kriteria mubah yang nilainya demikian menjadi makruh. Mereka yang meninggalkan makruh ini akan mendapat pahala dan akan disenangi masyarakat, dan tidak disiksa kelak, hanya tidak disenangi oleh Allah SWT, ( bandingkan dengan hadits: Abgadu al-halal ‘indallahi al-thalaq, sesuatu yang halal namun tidak disenangi oleh Allah adalah talak(cerai).
Kemudian, makruh terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syari’at tetapi dali yang melarangnya itu dzanni al-wurud, bersifat tidak pasti. Contohnya hadis tentang larangan meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain. Hadits tersebut berbunyi:
وعَن بن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يخطب بعضكم على خطبة اخيه , حتى يترك الخاطب قبله , او يااذن له الخاطب قبله .متفق عليه ,واللفظ للبخاري
Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata, rasulullah Saw., bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian meminang atas pinangan saudaranya, sehingga peminang yang sebelunya meninggalkannya atau mengizinkannya”.(HR Bukhari-Muslim. Lafadz hadis ini oleh Bukhari).
Contoh lainnya larangan memakai sutera bagi laki-laki, berdasarkan hadis berikut.
عن ابي عا مر الأشعري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليكوننّ من أمي أقوام يستلحون الحر والحرير. رواه أبو داود, وأصله البخار
Dari Abu ‘Amir al- Asy’ari., dia berkata, Rasulullah Saw., bersabda, “Akan muncul dari suatu kaum yang menghalalkan zina dan sutera”.(HR Abu Daud. Dan asal hadis ini terdapat pada riwayat Bukhari).
Kedua hadis diatas adalah ahad, sehingga dikategorikan dzani’al wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya sampai dugaan keras).
Makruh Tahrim, oleh kalangan hanafiyah, sama dengan hukum haram d خير alam istilah mayoritas ulama dari segi sama-sama diancam dengan siksaan atas pelanggarannya, meskipun tidak kafir orang yang mengingkarinyta, karena dalilnya bersifat dzanni.
2.      Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk meninggalkannya. Misalnya memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu  perang.
E.     Mubah/Ibahah atau disebut takhyir (boleh memilih)
Secara etimologis mubah berarti yang diumumkan dan diizinkan dengannya, sedangkan menuruy para ahli ushul fiqh sebagai berikut:
1.      Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam buku Dr. Mardani mengatakan
ما خير الشارع المكلَف بين فعله وتركه
Titah/syari’(Allah dan Rasul-Nya) kepada seorang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.”
2. Menurut Al-Ghazali dalam buku Mardani mengatakan mubah adalah
المخيرفيه بين الفعل والترك, من غير مدح ولا ذم ,لا على الفعل ولاعلى الترك, فإذا تحقق الاستواء شرعا والتخيير , لم يتصور أن يكون الترك به مطيعا لعدم تعلق الطلب بالترك , فإن الطاعة لا تكون إلا مع الطلب, ولاطلب,فلا طعة
Mubah yaitu memilih antara mengerjakan atau meninggalkan, tidak ada pujian dan tidak ada celaan, sama secara syariat, tidak terbentuk orang yang meninggalkannya disebut orang yang taar, karena tidak ada tuntutan untuk meninggalkan sesungguhnya taat itu tidak terjadi bila ada tuntutan. Tidak ada tuntutan maka tidak ada taat.”
3. Menurut Abdul Hamid Hakim. Mubah ialah
مالا يثاب على فعلهولا يعاقب على تركه
“Sesuatu yang dikerjakan tidak mendapat pahala dan ditinggalkan tidak mendapat siksa.”
4. Menurut Prof. Suparman Usman.
Dalam pandangan Islam, pada mulanya hokum segala sesuatu adalah boleh (mubah/jaiz), artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, Qaidah Fiqhiyah menyebutkan: ( الاصل فى الأشياءاللإ باحة) Pada mulanya(hukum) segala sesuatu itu adalah mubah. Lalu, Mubah dalam jenisnya ada tiga bagian:
1.      Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang diwajibkan, misalnya makan dan minum sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti kewajiban shalat dan usaha mencari rejeki. Mubah seperti ini hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang akan dimakan dan diminum. Akan tetapi, sesorang tidak diberi kebebasan memilih untuk makan atau atau tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
2.      Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Mislanya bermain dan mendengar nyanyian hukumnya mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengarkan nyanyian.
3.      Sesuatu yang mubah sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan. Hukum senang hukumnya adalah mubah.dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula. Karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.
2.2       Istinbath Ahkam Al-Khamsah dengan Pendekatan Bahasa
Menurut Nasrun Haroen dalam buku karya Masduki sebagai berikut:
A.                     Wajib
1.      setiap fi’il amar (kata kerja perintah) misalnya: أقيموا الصلاة  “dirikianlah salat...”(Q.S. Al-An’am:72)
lafadz ‘Aqimu merupakan lafadz perintah
2.      Masdar yang mengganti (kedudukan) Fi’il Amr, artinya mempunyai arti perintah. Misalnya: Q.S. Muhammad: 4 : فإذا لقيتم الذين كفروا فضرب الرقب  “maka apabila bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka tebaslah batang leher mereka”
Kalimat yang dimaksud adalah ‘fadharba ar-riqab’ yang bermakna fi’il ‘idhrib’.
3.      Lafadz ‘kataba, yang berarti wajaba, atau faradha, Misalnya كتب عليكم القتال وهو كر هٌ لكم “diwajibkan atas kamu berperang walaupun itu dibenci kamu.”
B.                     Mandub/ sunnah
dapat diketahui dalam nash dengan cara:
1.      Dengan ungkapan jelas melalui lafadz yusannu/يسن  (disunnahkan) atau yundabu يندب seperti dalam ucapan nabi.
2.      Dengan shighat (bentuk0 tuntutan itu sendiri yang menunjukkan atas tiak adanya kekuatan dalam perintah.
Misalnya:
من توضأ الجمعة فبها ونعمت ومن اغتسل فالغسل أفضل
“Barangsiapa yang berwudh pada hari jum’at, maka baginya kebaikan dan barang siapa yang mandi maka itu lebih utama. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, At-turmudzi dan An-Nasa’i”
C.                Haram
Penjelasannya di bawah ini:
1.         Menggunakan kata kerja yang menunjuk pada makna haram, seperti:
حرمت عليكم أمهاتكم وبنا تكم وأخواتكم
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;saudara-saudaramu yang perempuan,....” (Q.S. An-Nisa:23)
2.         Menggunakan redaksi “tidak halal” seperti:
يا أيها الذين آمنوا لايحلّ لكم أن ترثوا النساء كوها
“hai orang-orang yang berimana, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa....” (Q.S. An-Nisa: 19)
3.         Menggunakan shighat fi’il nahyi (larangan) yang menunjukan ketegasan seperti:
ولا تقربو الزِّنا إنّه كان فاحسشة وساء
“dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(Q.S. Al-israa:32)

D.                Makruh
.untuk mengetahui hukumnya dengan cara berikut:
1.      Dengan menggunakan kata كره karaha atau yang seakar dengannya, misalnya
إنّالله كره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال
Sesungguhnya Allah membenci kamu tiga hal: menyebarkan berita tidak benar (desas-desus), banyak bertanya Dan menyia-nyiakan harta” (HR. Bukhari Muslim)
2.      Menggunakan redaksi nahyi (larangan) yang dibarengi qarinah atau petunjuk bahwa hal itu tidak haram tetapi makruh, misalnya: Q.S. Al-Maidah 101:
أبعض الحلال إلى الله تعالى الطلاق
Hai orang-orang yang berimaan, janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.
berubahnya larangan Ayat ini menjadi makruh karena ayat selanjutnya memutarbalikkan.
ياأيّهاالذين آمنولا تسألوعن أشياء إن تبد لكم تسؤكم
وإن تسألوا عنها حين القرآن تبد لكم عفا الله عنها
...dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
E.     Mubah
Kita dapat mengetahui bahwa itu mubah melalui:
1.      Penjelasan dari Asy-Syari’ terhadap sesuatu yang halal.
اليوم أحلّ لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حلّ لكم وطعامكم حلّ لهم
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan [sembelihan] orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
2.      Penjelasan dari Asy-Syari’ terhadap ketiadaan dosa dalam melakukan sesuatu la itsma, la junaha, dan la haraj. Misalnya:
فمن اضطرّغير باغ ولا عاد فلا إثم عليه
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (Q.S. Al-Baqarah:173)
3.         Menggunakan redaksi kalimat perintah (amr) tetapi karena ada qarinah yang mengubah dari wajib menjadi mubah.
Misalnya: وإذ حللتم فاصطادوا .... ...dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu... (Q.S Al-Maidah:2). Yaitu apabilakamu sekalian telah tahallul (menyelesaikan manasik) dari Ihram haji maka boleh berburu.
Jadi, wajib merupakan kelanjutan dari peningkatan sunnah, yaitu dari anjuran mengerjakan menjadikan keharusan mengerjakan. Haram kelanjutan dan peningkatan dari makruh, yaitu dari anjuran meninggalkan menjadi keharusan meninggalkan. Sedangkan sunnah dan makruh merupakan kelanjutan dari mubah, dalam dimensi positif dan negatif.
Maka dari itu sebuah sunnah itu berlaku untuk mengamankan hal-hal yang menyangkut kewajiban. Agar kewajiban itu selalu dikerjakan, maka orang yang melakukan sesuatu yang dianjurkan yang dalam artian adalah sunnah, pasti akan melakukan hal yang diwajibkan. Sebab dari sebuah kebiasaan akan muncul perasaan dalam jiwa bahwa hatinya tidak akan rela jika meninggalkan hal  itu. Kebiasaan itu akan menjadi sifat sosial yang dikatakan mendarah daging. Begitu pula dalam hal makruh, ini menjadi sebuah sistem keamanan yang menjaga seseorang untuk tidak melakukan hal yang diharamkan oleh hukum. Pelakunya pasti akan dengan segenap hati meninggalkan apa yang dibenci dan tidak disukai oleh Allah. Apalagi ketika suatu perbuatan itu benar-benar dilarang oleh Allah. Maka dapat disimpulkan manusia itu tidak akan mendekati sesuatu yang sangat dilarang karena dalam posisi psikologinya telah sangat menentang hal itu.
2.3       Istinbath Ahkam Al-khamsah dengan Maqashid Syari’ah
            Ahkam Al-khamsah yang merupakan wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah itu merupakan hal penegak sendi-sendi maqashid syariah yang berarti menjaga agama, akal, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan. Jadi sangatlah penting untuk diterapkan Ahkam Al-khamsah ini di setiap lini masyarakat sesuai Syariat Islam, karena jika tidak diterapkan juga maka ketentraman serta kedamaian masyarakat akan terancam. Manusia bisa menjadi tidak terkendali karena mengikuti jejak-jejak syetan karena tidak berpegang teguh dengan akidahnya.
            Seperti contoh yang saya jelaskan diatas bahwa manusia tidak boleh mendekati zina apalagi melakukannya. Ini sangatlah berperan penting dalam kehidupan manusia pada semua aspek kehidupan manusia, bukan hanya mencakup masalah agama dan akhirat, melainkan bidang dunia juga yang menentukan kelangsungan hidup manusia dan keutuhan perdamaian di dunia ini. Karena ketika seseorang mulai mendekati zina, maka dengan mudah syetan untuk menjerumuskan si pelaku untuk melakukan perzinahan tersebut. Karena memang, asal dari perzinahan memanglah sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Sebab jika perzinahan dibiarkan terjadi, maka kepunahan dan kehormatan sebagai manusia yang berakal akan hilang. Garis keturunan manusia akan tidak jelas dan manusia tidak memiliki identitas yang seharusnya hal itu tidak boleh terjadi, karena manusia telah diberikan Akal yang berbeda daripada hewan. Untuk berfikir agar tidak berperilaku sama seperti hewan.
            Maka dari itu, disinilah keistimewaan Ahkam Al-khamsah yang berbeda dengan hukum barat. Benar-benar menjaga dari segala bentuk yang berakibat manusia itu mengalami kerusakan. Karena, dalam hukum barat(mencakup KUHP dan BW) perzinahan sebelum pernikahan itu tidak ada. Perzinahan sebelum pernikahan itu disebut hubungan alami. Yang sebenarnya itu tidaklah pantas hukum bagi manusia. Jika disebut hubungan alami, itu sama saja menyamakan sifat manusia seperti hewan yang padahal sebenarnya manusia sangatlah berbeda daripadanya.
            Kemudian, jika perzinahan sebelum pernikahan itu dibiarkan. Maka maqashid syariah yang bertujuan untuk benar-benar menjaga manusia dari kerusakan untuk terlaksana itu menjadi sesuatu hal yang mustahil untuk diterapkan, karena dari perzinahan segala aspek menjaga kehormatan manusia akan hilang, menjaga keturunan juga akan lenyap dan menjaga manusia agar tidak rusak akal dan jiwanya akan tidak bisa diterapkan. Karena hilangnya tanggung jawa dari setiap manuisa yang melakukan perzinahan untuk melakukan pernikahan.
            Begitupula dengan aturan hukum yang terdapat dalam islam. Semua demi menjaga manusia dari segala bentuk kerusakan yang terangkum dalam Maqashid Syari’ah. Dan dalam pelaksanaannya terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu Ad-dharuriyat(pokok), Al-hajjiya(sekunder),dan Al-tahsiniyyat(tersier).









Bab III
Kesimpulan
A.        Kesimpulan
            Ahkam Al-khamsah merupakan hukum yang lima dan paling utama dalam islam. Karena, dengan Ahkam al-khamsah manusia akan menentukan bagaimana dirinya akan bersikap dalam setiap perbuatan. Dengan setiap anjuran, perintah, larangan maka Ahkam Al-khamsah termasuk dalam hukum taklifi, Hukum yang langsung berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf.
            Banyak Para Ulama Ushul fiqh yang mengemukakan pendapatnya dengan begitu rinci. Dari setiap definisi hingga bagaimana caranya untuk menetapkan Ahkam Al-khamsah ini yang terdiri dari Wajib, sunnah, makruh, Haram, dan mubah.
            Kemudian, Ahkam Al-khamsah sangatlah berkaitan erat dengan Maqashid Syari’ah. Karena Ahkam Al-khamsah adalah unsur paling luas dalam Maqashid Syariah. Sehingga, Maqashid syariah yang bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, harta dan kehormatan ini tidak akan terlaksana jika Ahkam Al-khamsah tidak diterapkan dalam setiap pribadi manusia dan masyarakat luas.









Daftar Pustaka
Hakim, Abdul Hamid. Mabadi Awaliyah. Jakarta: SA’ADIYAH PUTRA.
Hasbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh METODE ISTINBATH DAN ISTIDLAL. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
Mardani. 2013. USHUL FIQH. Jakarta: Rajawali Pers.
Masduki,.2014. USHUL FIQH I. Serang: FTK BANTEN PRESS DAN LP2M IAIN SMH BANTEN.
Munawwir, A. Warson.  1997. Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Syafe’i, Rachmat. 2015. ILMU USHUL FIQH. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Usman, Suparman. 2002. HUKUM ISLAM Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama.









Biodata Penulis
Nadya Nurul Hidayah adalah Mahasiswi jurusan Hukum Keluarga yang sekarang tahun 2017 duduk di semester empat. Lahir di Kota Serang pada 22 September 1997. Saat ini Penulis tinggal di Kota Serang, tepatnya di Pasar Rau dengan orang tua. Saat ini penulis juga aktif di organisasi kampus seperti HMJ, PERMAHI dan UPTQ.




[1] A.W.Munawwir, Kamus al-munawwir,hlm 1537
[2] https://Kbbi.kemdikbud.go.id/ebtri/wajib
[3] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz..., Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz..., Masduki, Ushul Fiqh I,(Serang:Ftk Banten Press dan LP2M IAIn SMH Banten),cet. Ke-1,h. 124
[4] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Jakarta:SA’ADIYAH PUTRA, h.6.
[5] Suparman Usman, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, h.82.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, Jilid I,2008), h. 310, Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta:Rajawali Pers,2013), h. 35.
[7] Ibid. , h.334, Ibid, h.42.
[8]Masduki, loc.cit., h.30

Komentar

  1. ilmu seperti ini memanga sangat bermanfaat bagi kita. kadang banyak orang yang lalai dalam menjalankan hukum islam.semoga kita tetap dibawah lindungan Allah SWT

    salam kunjungan balik di www.teknologivirals.online

    BalasHapus
  2. keren nih artikel, tetap semangat menulis mastah...

    BalasHapus
  3. Jadi lebih mantap membaca tulisan ini dan lebih baik

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer

Keutamaan Taubat: Tanqihul Qaul

Keutamaan Nikah: Tanqihul Qaul

Fawatih As-suwar