MAKALAH
KEKUASAAN
PERADILAN AGAMA
Disusun Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Dosen
: Siti Hafsah S.H.
M.H.
Disusun
oleh kelompok IV
:
1. Nadya Nurul Hidayah 151100383
2. Siti Rupiat 151100376
3. Deni Hilman 151100379
JURUSAN HUKUM KELUARGA – A/VI
FAKULTAS
SYARIAH
UIN
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengadilan Agama memiiki
kekuassaannya tersendiri dalam mengadili perkara-perkara yang ada dalam Hukum
Islam. Kekuassaan Peraddilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 pada BAB
III.
Kekuasaan Peradilan Agama ini yang
terdapat pada UU no. 7 Tahun 1989 memiliki kesamaan pada beberapa Undang-Undang
seperti UU no. 5 Tahun 1986 tentang petaturan kekasaan Peradlan Tata Usaha
Negara dari pasal 47 sampai 52. Kemudian hampir mirip dengan peraturan
Kekuasaan Peradilan Umum UU no. 2 Tahun 1986
dari pasal 50 sampai 54. Akan tetapi, semua kemiripan itu hanyalah dari
segi prinsip sehingga ada perbedaanya yaitu sesuai ciri kewenangan mengadil
dalam lingkungan peradilan masing-masing.
Pengadilan Agama dalam hal yang dirumuskan pada UU No. 7 tahun 1989
ini terdapat beberapa kekuasan yang dilimpahkan oleh Undang-Undang menjadi
fungsi dan kewenangan dalam lingkungan Peradilan Agama. Lebih tepatnya pada
pasal 49 sampai 53, seperti fungsi kewenangan Mengadili,memberi keterangan dan
pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah,
kewenangan lain oleh undang-undang atau berdasar undang-undang, Kewenangan
Pengadilan Tinggi Agama mengadil dalam tingkat banding, dan mengadili sengketa
kompetensi reklatif serta mengawasi jalannya peradilan. Kemudian, penjelasan
lebiih rincinya akan dibahas lebih dalam pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, kita dapat mengetahui rumusan masalah makalah ini
sebagai berikut:
a. Bagaimana
Kekuasaan Peradilan Agama?
b. Bagaimana
masalah-masalah yang dihadapi Kekuasaan Peradilan Agama?
C. Tujuan
Dari Rumusan Masalah di atas, kita dapat
mengetahui tujuan makalah ini sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui ruang lingkup
kekuasaan Peradilan Agama.
b. Untuk mengetahi masalah-masalah yang
dihadapi kekuasaan peradilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekuasaan Peradlan
Agama
Kekuasan peradilan agama terdapat pada UU No. 7 tahun 1989 dari
pasal 49 sampai dengan pasal 53
A.
Kekuasaan Mengadili
Sepeerti yang sudah pernah dikemukakan, bertitik tolak dari
penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970, lingkungan peradilan agama adalah salah satu diantara lingkungan
peradilan khusus berhadapan dengan lingkungan
Peradilan Umum.masing-msing lingkungan Pradilan Khusus yang terdiri dari
lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
haya melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan
terhadap golongan rakyat tertentu.jadi fungsi kewenangan mengadili lingkungan
Peradilan Agama ditentutakan dua faktor yaitu menjadi ciri keberadaannya.
Pertama faktor “perkara tertentu” dan yang kedua faktor golongan “rakyat
tertentu”.
Salah satu sentral yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989 ialah
asas “personalitas ke-Islaman”. Hal ini sudah diuraikan pada bagian yang
membahas asas-asas UU No. 7 Tahun 1989. Dan bagaimana acuan menerapkan asas
personalitas ke-Islaman sudah dijelaskan pada bagian tersebut. Lebih lanjut,
sampai sejauh mana ruang lingkup kewenangan mengadili lingkungan Peradilan
Agama? Jawabnya, hanya meliputi biudang perkara-perkara perdata “tertentu”.
Inilah yang digariskan dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
Akan tettapi jika demikian jawabnya, masih mengambang. Bisa menimbulkan
kekisruhan dalam menentukan batas-batas kompetensi absolut.
Ketentuan-ketentuan yang dimaksud merupakan landasan pokok
menentukan batas-batas yang jernih fungsi kewenangan mengadili lingkungan
Peradilan Aagama. Dengan penegasan yang jelas ini, tidak timbul lagi kekisruhan yurisdiksi mengadili
antara lingkungan Peradilan Umum dengan lingkungan Peradilan Agama. Dari
berbagai ketentuan pasal dan penjelasan yang dikemukakan, secara umum fungsi
kewenangan mengadili Peradilan Agama telah ditentukan dalam pasal 49 ayat (1),
yang meliputi perkara-perkara di bidang perdata:
-
Perkawinan
-
Kewarisan,
wasiat,dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam
-
Wakaf
dan shadaqah
Bidang- bidang hukum perdata di ataslah yang menjadi porsi fungsi
kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama.dengan sendirinya bidang-bidang
tersebut disebut dengan bidang-bidang “tertentu”
B.
Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan
Pada
maa yang lalu baik sebelum dan sesudah diundangkan UU No. 1 Tahun 1974 sebagai
undang-undang dan hukum perkawinan nasional, kewenangan Peradilan Agama
mengadili kasus perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, tidak
bulat. Ada bagian yang tersisa yang kewenangan mengadili perkarannya menjadi
kompetensi absolut lingkungan Peradilan Umum. Bagian yang tersisa tersebut,
terutama mengenai perkara yang berkenaan dengan sengketa “harta bersama” suami
isteri, sehingga perkara perkawinan bagi golonga rakyat yang memiliki
personalitas ke-Islaman, ditempatkan pada dua sisi kutub. Mengenai perkaar
perkawinan selain daripada sengketa harta bersama berkutub dan takluk ke
lingkungan Peradilan Agama, tetapi sengketa harta bersama, tunduk ke lingkungan
Peradilan Umum. Misalnya, perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam
dan yang kawin secara Islam, dihadapkan ke Pengadilan Agama. Tetapi mengenai
perkara harta bersama, sengketannya diadili di Pengadilan Negeri. Padahala
kasus sengketa hata bersama dalam perceraian, merupakan akibat langsung dari
perkara perceraian. Namun demikian, forum penyelesaian perkarannya diperiksa
dan diputus oleh dua lingkungan peradilan yang berbeda.
Mnurut
penjelasan pasal 49 ayat (2), yang dimaksuud dengan bidang perkawinan yang
diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 antara lain:
-
Izin
beristeri lebih dari seorang (izin poligami)
-
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur 21 tahun dalam hal orang tua
atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
-
Dispensasi
kawin
-
Pencegahan
perkawinan
-
Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
-
Pembatalan
perkawinan
-
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami isteri
-
Perceraian
karena talak
-
Gugatan
perceraian
-
Penyelesaian
harta bersama
-
Mengenai
penguasaan anak
-
Ibu
dapat memikul biaya penghidupan anak bilamana baoak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memnuhinya.
-
Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri
-
Putusan
tentang sah atau tidaknya seorang anak
-
Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua
-
Pencabutan
kekuasaan wali
-
Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut
-
Menunjuk
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya
-
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas
benda anak yag ada dibawah kekuasaanya.
-
Penetapan
asal-usul seorang anak
-
Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
-
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
C.
Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan
1. Meliputi Asas Personalita Ke-Islaman dan Wawasan Nusantara
Dengan
mengaitkan asas personalitas ke-Islaman denga ketentuan pasal 49 ayat (2) huruf
b, jo. Penjelasan umu angka 2 alinea kedua, yang menentukan salah satu bidang
perdata tertentu yang menjadi kewenangan mengadili Peradilan Agama, berarti
asas personalitas ke-Islaman dalam bidang perdata kewarisan meliputi seluruh
golongan rakyat beragama islam. Dengan kata lain, sengketa perkara warisan yang
terjadi bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk
dan takluk kedalam lingkungan Peradilan Agama, bukan ke lingkungan Peradilan
Umum. Kalau begitu, luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan Agama
ditinjau dari subjek pihak-pihak yag berperkara, meliputi seluruh golongan
rakyat yang beragama Islam tanpa terkecuali.
2. Meliputi seluruh bidang hukum waris Islam
a. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris
Ditinjau
dari segi ketentuan hukum warisan Islam, kedalam pokok masalah siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, meliputi segi-segi hukum:
-
Penentuan
kelompok ahli waris
-
Penentuan
siapa yang berhak mewarisi
-
Penentuan
yang terhalang menjadi ahli waris
-
Menentukan
hak dan kewajiban ahli waris
b. Penentuan mengenai harta peninggalan
Ditinjau
dari segi ketentuan hukum waris Islam, hal-hal yang termasuk kedalam masalah
penentuan harta peninggalan meliputi segi-segi
-
Penentuan
harta tirkah yang dapat diwarisi
-
Penentuan
besarnya harta warisan
c. Penentuan bagian masing-msing ahli waris
d. Malaksanakan pembagian harta peninggalan
D.
Kewenangan Peradilan Agama Tidak Menjangkau Sengketa Milik
lebih dahulu kita kedepankan kembali putusan Mahkamah Agung tanggal
13 Desember 1979 No. i 1 K/AG/1979. Dalam putusan tersebut ditentukan suatu
kaidah hukum acara yang ditegaskan: “apabila dalam suatu gugatan yang
menyangkut pembagian harta warisan masih terkandung sengketa hak milik maka
perkara yang bersangkutan tidak termasuk kewenangan Penagdilan Agama untuk
memeriksannya tapi termasuk kewenangan Peradilan Umum”. Kaidah diatas telah
dianggap dalam praktek peradilan sebagai salah satu yurisprudensi tetap. Hampir
semua kalangan telah menjadikannya sebagai pedoman. Baik lingkungan Peradilan
Agama maupun lingkungan Peradilan Umum, sebagian besar telah menajdikannya
sebagai patokan dalam menentukan kewenangan perkara-perkara warisan bagi mereka
yang beragama islam.
Bagaimana siakap UU No. 7 Tahun 1989 menyelesaikan permasalahn
titik singgung sengketa milik dalam gugatan pembagian harta warisan? Tampaknya
undang-undang ini bersikaf positif tapi ragu-ragu! Siakf positifnya dengan cara
mengukuhkan lebih tegas yurisprudensi MA 13 Desember 1979 No. 11 K/AG/1979.
Nilai kaidah hukum yang terkandung dalam yurisprudensi tersebut diangkat
menjadi ketentuan undang-undang, dan dicantumkan menjadi rumusan pasal 50 UU
No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “dalam hal terjadi sengketa mengenai hak
milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang diamaksud
dalam pasal 49 maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus
diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.
Memperhatikan bunyi pasal serta penjelasan pasal tersebut, dapat
ditarik beberapa asas sebagai acuan pedoman bagi Pengadilan Agama mengadili
perkara yang didalamnya terkandung sengketa milik.
1.
Sengketa
Milik Kompetensi Absolut Peradilan Umum
Inilah
asas pertama. Segala sengketa keperdataan yang menyangkut hak kebendaan atau
berdasar perikatan, sekalipun objek sengketa itu tersangkut perkara di
Pengadilan Agama maka sepanjang sengketa hak kebendaan mutlak menjadi
kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) untuk mengadilinnya. Mengenai
bentuk-bentuk sengketa hak kebendaan, bisa berupa sengketa hak milik, hak gadai
berdasar hukum adat, hak agunan bauk agunan biasa atau agunanan hipotek,
tukar-menukar, jual beli, dan sebagainya. Terhadap sengketa keperdataan dimaksud
mutlak menjadi kewenangan Peradilan Umum untuk mengadili.
2.
Kewenangan
Absolut Peradilan Umum Atas Sengketa Milik Meliputi Harta Bersama, Hibah, dan
Wakaf
Demikian
jangkauan sengketa milik setelah berlaku UU No. 7 Tahun 1989, bertitik dari
ketentaun pasal 50. Tidak semata-mata hanya terbatas dalam perkara warisan,
tetapi meliputi semua jenis perkara dalam semua bidang hukum yang menajdi
yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Selama dalam satu perkara yang diperiksa
lingkungan Peradilan Agama yang terkait sengketa milik atau sengketa
keperdataan lain, selama itu memeriksa dan memutus perkara, apabila sengketa
milik atau keperdataan lain telah tuntas selesai dalam lingkungan Peradilan
Umum. Hal ini memang merepotkan, dan bahkan bisa menghambat kelancaran penyelesaian
perkara seperti yang akan diuraikan nanti dalam bagian lain.
3.
Asas
Tata Cara Penyelesaian Terbatas Atas Objek yang Tidak Tersangkut Sengketa Milik
Bagaimana
tat cara penyelesaian perkara yang didalamnya ada terkandung sengketa milik
atau sengketa keperdataan lain, telah diberikan acuan “umum” atau asas umum
dalam pasal 50. Untuk lebih memahami penerapan asas umum tersebut, harus
dihubungkan dengan penjelasan pasal 50 itu sendiri yang berbunyi “penyelesaian
terhadap objek yang menjadi sengketa diamkssud tidak berarti menghentikan
proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa
itu”.
E.
Hak Opsi Dalam Perkara Warisan
Yang dimaksud dengan hak opsi dalam
perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang digunakan dalam
menyelesaikan pembagian warisan. Hak opsi dalam UU No 7 Tahun 1989 dijumpai
dalam bagian penjelasan umum angka 2 alinea keenam yang berbunyi “sehubungan
dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.”
Latar
belakang pemberian hak opsi dalam bidang hukum warisan bertitik tolak dari
pandangan diskriminasi jumlah bagian anak lelaki dengan anak perempuan.
Perbedaan jumlah bagian tersebut dianggap tidak adil dan kurang manusiawi. Cuma
pembuat undang-undang tidak mau berterus terang. Tapi, lari bersembunyi ke arah
pemberian hak opsi. Dengan demikian pemberian hak opsi dalam undang-undang
dapat dianggap sebagai pelarian dari kekurang beranian menetapkan suatu
ketentuan yang memberi bagian yang sama besarnya antara anak lelaki dengan anak
perempuan.
a.
Hak
opsi tidak bertentangan dengan asas perdata
Seperti
yang sudah dikatakan, bidang warisan termasuk jajaran hukum perdata atau hukum
privat (privat law). Pada umumnya, hukum perdata bersifat “mengatur” atau
aanvullrenrencht, dan jarang yang bersifat “memaksa” atau dwingend recht. Para
pihak dapat menyingkirkan aturan perdata melalui “persetujuan”
b.
Terlepas
dari persoalan setuju atau tidak akan eksistensi hak opsi dalam perkara bidang
hukum warisan, ditinjau dari segi hukum acara dan penyelesaian perkara, hak
opsi menimbulkan problema hukum. Problemanya bisa kompleks. Pertama, kesulitan
untuk menemukan kesepakatan tentang warisan mana yang mereka pilih. Bukankah
menurut penjelasan umum tersebut, operasional hak opsi dilakukan para pihak
“sebelum” berperkara. Berarti sebelum penggugat mengajukan gugat ke Pengadilan
Agama, penggugat mendatangi atau mengundang para penggugat.
F.
Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Wasiat Dan Hibah
Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1)
huruf b, kewenangan mengadili Peradilan Agama termasuk bidang wasiat dan hibah.
Cuma pada akhir kalimat terdapat ketentuan yang berbunyi: “........dilakukan
berdasar hukum Islam”. Jika kalimat tersebut dihubungkan dengan kewenangan
lingkungan Peradilan Agama mengadili perkara-perkara wasiat dan hibah serta
dikaitkan dengan tata hukum Eropa dan Adat, kewenangan dimaksud bisa menjadi
kabur.
Persoalannya sebagai berikut. Bertititk
tolak dari ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b jangkauan kewenangan lingkungan
Peradilan Agama mengadili perkara wasiat dan hibah digantungkan pada syarat,
hanya sepanjang wasiat dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam. Syarat
ini memang logis dan rasional, tetapi oleh karena patokan syarat terlampau
menekankan pada unsur berdasarkan hukum Islam, bisa menimbulkan kekaburan.
Sebab kalau diteliti secara seksama antara wasiat dan hibah yang terdapat dalam
hukum Eropa serta hukum Adat, terdapat persamaan universal. Asas umumnya boleh
dikatakan tidak berbeda. Sama-sama menganut asas umum: sebagai bentuk
persetujuan yang bersifat “sepihak” dan bersifat “Cuma-Cuma”. Mengenai objeknya
juga sama-sama bertujuan untuk memberi “keuntungan” kepada penerima wasiat dan
hibah.
G. Sengketa Milik Sebagai Faktor Kendala
Setiap
Perkara hata bersama dan warisan akan mengalami sengketa milik akan mengalami
peoses peradilan yang berulang-ulang pada tingkat petama di dua lingkungan yang
berbeda yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum. Hal ini yang menjadi kendala karena pada Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 ini menegaskan bahwa , bila dalam suatu perkara yang sedang diproses di
Pengadilan Agama barang objek yang diperkarakan nmengandung sengketa milik atau
keperdataan lain, khusus mengenai barang objek yang diperkarakan mengandung
sngketa milik tersebut harus diputus lebih dahulu dalam lingkungan Peradilan
Umum.
Sehingga, sengketa yang terjadi
tersebut harus melalui sistem hukum peraddilan umum selama bertahun-tahun
minimal 10-13 tahun baru ditangani oleh Peradilan Agama.
Kenapa terjadi demikian? Karena kita
harus meneyelesaikan sengjketa miliknya terlebih dahulu. Jika perkara pembagian
sengketa mliknya termasuk juga kewenangan Pengadian Agama. Maka, bisa menghemat
waktu dan biaya perkara karena harta bersama dan warisan terselesaikan dalam
satu forum Peradilan Agama.
H. Sengketa Milik hanya Meliputi Pihak Ketiga
Jika
dalam kasus harta bersama terdapat sebidang tanah lalu ada pihak ketiga yang
mengaku tanah itu miiliknya. Maka putusan yang diambil Pengadilan Agma, karena
perkara itu harus diselesikan perkara sentgketa miliknya terlebih dahulu.
Sesuai denganm pasal 50 UUNO 7 1989 ini.
I. Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama
Mengadil Sengketa Kompetensi
Apabila
terjaddi sengjketa antara 2 Pengadilan Agama di antara kabupaten/kota maka
Pengadilan Tinggi berhak untuk mengadilinya. Sesuai pasal 51 ayat (2)/ sehingga
1. Mengadili sengketa kompetensi bagi
Pengadilan Tinggi Agama adalah keputusan akhir dan tidak bisa mengajukan
banding atau kasasi.
2.
Jika terjadi sengketa antara Pengadilan Agama yang berlainan Daerah
Hukum Pengadilan Tinggi agama. Maka Mahkamah Agung yang berwenang mengadilinya
karena agar tidak ada perselisihan antar Pengadilan Tinggi Agama yang berbeda
wilayah hukum tersebut. Kemudian,keputusan yang diambil oleh Mahkamah Agung
adalah final serta tertutup segala upaya hukum untuk perkara yang ada.
J. Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama
Mengawasi Jalannya Peradilan
Terdapat pada beberapa pasal tentang
kekuasaan Pengadilan Tinggi dalam mengawasi jalannya peradilan yaitu:
1. kewenangan
mengawasi apakah para hakim, panitera dan jurusita benar-benar melaksanaan
pemeriksaan sesuai perundang-undangan
serta hukum yang berlaku., mengamati apakah Pengadilan Agama dalam melaksanakan
fungsi kewenangan peradilan, asas-asas umum yang ditentukan undang-undang
seperti asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
2. Membei
keterangan, pertimbangan dan nasihat terdapat pada pasal 52 Bab IIIb UU NO 7
Tahun 1989.
3. Prosdur
pemberian keterangan, pertimbangan atas dasar permintaan pengadilan Agama
tingkat pertama. Terdapat pada pasal 52 ayat 1 BAB III UU NO 7 Tahun 1989.
4. Dilarang
untuk memberi pertimbangan dan nasihat dijelaskan pada paal 52 ayat 1 jika
perkara tersebut sedang atau akan diperiksa di Pengadilan.
BAB III
KESIMPULAN dan Saran
A. Kesimpulan
Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi agama mempunyai kekuassaan mengadilinya masing-masing. Smeua itu
terdapat pada perundang-undangan yang ada. Pengadilan Agama meupakan pengadilan
tingkat pertama untuk memeiksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara
antara orang-orang beragama Islam dibidang pekawinan, wasiat, hibah, wakaf,
shadaqah berdasar hukum Islam.
Kemudian Pengadilan tinggi Agama
berrkuasa mengadili sengketa antara pengadilan agama yang berdaerah hukum
sama,. Mengawasi pengadilan agama dalam segi menjalankan dan menyelesaikan
perkara yang ada.
Ada beberapa kendala perkara yang
tidak bisa diselesaikan dengan cepat oleh Pengadilan Agama karena tersangkut
sengketa perkara yang harus diselesaikan oleh Penngadilaan Umum contohnya
sengketa harta bersama dan waris karena haus mengetahui terlebihdahulu
kepemilikan yang ada.
B. Saran
Sebaiknya ada pembaruan huum agar
perkara yang diselesaikan pada Pengadilan Agama memiliki kemerdekaan yang
hakiki untuk menyelesaikan perkara. Sehingga mengehemat waktu dam biaya
berperkara.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M.
Yahya. 2009. KEDUDUKAN DAN ACARA
PERADILAN AGAMA UU NO 7TAHUN 1989.JAKARTA: SINAR GRAFIKA
UU NO 7 TAHUN 1 989
Komentar
Posting Komentar