Total Pengunjung

Kekuasaan Peradilan Agama(Pengadilan Agama di Indonesia)


MAKALAH

KEKUASAAN PERADILAN AGAMA
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Dosen : Siti Hafsah S.H. M.H.

Disusun oleh kelompok IV :

1.    Nadya Nurul Hidayah               151100383
2.    Siti Rupiat                                  151100376
3.    Deni Hilman                               151100379


JURUSAN HUKUM KELUARGA – A/VI
FAKULTAS SYARIAH
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
            Pengadilan Agama memiiki kekuassaannya tersendiri dalam mengadili perkara-perkara yang ada dalam Hukum Islam. Kekuassaan Peraddilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 pada BAB III.
            Kekuasaan Peradilan Agama ini yang terdapat pada UU no. 7 Tahun 1989 memiliki kesamaan pada beberapa Undang-Undang seperti UU no. 5 Tahun 1986 tentang petaturan kekasaan Peradlan Tata Usaha Negara dari pasal 47 sampai 52. Kemudian hampir mirip dengan peraturan Kekuasaan Peradilan Umum UU no. 2 Tahun 1986  dari pasal 50 sampai 54. Akan tetapi, semua kemiripan itu hanyalah dari segi prinsip sehingga ada perbedaanya yaitu sesuai ciri kewenangan mengadil dalam lingkungan peradilan masing-masing.
Pengadilan Agama dalam hal yang dirumuskan pada UU No. 7 tahun 1989 ini terdapat beberapa kekuasan yang dilimpahkan oleh Undang-Undang menjadi fungsi dan kewenangan dalam lingkungan Peradilan Agama. Lebih tepatnya pada pasal 49 sampai 53, seperti fungsi kewenangan Mengadili,memberi keterangan dan pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah, kewenangan lain oleh undang-undang atau berdasar undang-undang, Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadil dalam tingkat banding, dan mengadili sengketa kompetensi reklatif serta mengawasi jalannya peradilan. Kemudian, penjelasan lebiih rincinya akan dibahas lebih dalam pada makalah ini.
B.        Rumusan Masalah
            Dari latar belakang di atas, kita dapat mengetahui rumusan masalah makalah ini sebagai berikut:
            a.         Bagaimana Kekuasaan Peradilan Agama?
            b.         Bagaimana masalah-masalah yang dihadapi Kekuasaan Peradilan Agama?


           
C.        Tujuan
             Dari Rumusan Masalah di atas, kita dapat mengetahui tujuan makalah ini sebagai berikut:
a.         Untuk mengetahui ruang lingkup kekuasaan Peradilan Agama.
b.         Untuk mengetahi masalah-masalah yang dihadapi kekuasaan peradilan Agama.


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Kekuasaan Peradlan Agama
            Kekuasan peradilan agama terdapat pada UU No. 7 tahun 1989 dari pasal 49 sampai dengan pasal 53
A.    Kekuasaan Mengadili
Sepeerti yang sudah pernah dikemukakan, bertitik tolak dari penjelasan pasal 10 ayat  (1) UU No. 14 Tahun 1970, lingkungan peradilan agama adalah salah satu diantara lingkungan peradilan khusus berhadapan dengan lingkungan  Peradilan Umum.masing-msing lingkungan Pradilan Khusus yang terdiri dari lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, haya melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan terhadap golongan rakyat tertentu.jadi fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditentutakan dua faktor yaitu menjadi ciri keberadaannya. Pertama faktor “perkara tertentu” dan yang kedua faktor golongan “rakyat tertentu”.
Salah satu sentral yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989 ialah asas “personalitas ke-Islaman”. Hal ini sudah diuraikan pada bagian yang membahas asas-asas UU No. 7 Tahun 1989. Dan bagaimana acuan menerapkan asas personalitas ke-Islaman sudah dijelaskan pada bagian tersebut. Lebih lanjut, sampai sejauh mana ruang lingkup kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama? Jawabnya, hanya meliputi biudang perkara-perkara perdata “tertentu”. Inilah yang digariskan dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Akan tettapi jika demikian jawabnya, masih mengambang. Bisa menimbulkan kekisruhan dalam menentukan batas-batas kompetensi absolut.
Ketentuan-ketentuan yang dimaksud merupakan landasan pokok menentukan batas-batas yang jernih fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Aagama. Dengan penegasan yang jelas ini, tidak  timbul lagi kekisruhan yurisdiksi mengadili antara lingkungan Peradilan Umum dengan lingkungan Peradilan Agama. Dari berbagai ketentuan pasal dan penjelasan yang dikemukakan, secara umum fungsi kewenangan mengadili Peradilan Agama telah ditentukan dalam pasal 49 ayat (1), yang meliputi perkara-perkara di bidang perdata:
-          Perkawinan
-          Kewarisan, wasiat,dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam
-          Wakaf dan shadaqah
Bidang- bidang hukum perdata di ataslah yang menjadi porsi fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama.dengan sendirinya bidang-bidang tersebut disebut dengan bidang-bidang “tertentu”


B.     Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan
                             Pada maa yang lalu baik sebelum dan sesudah diundangkan UU No. 1 Tahun 1974 sebagai undang-undang dan hukum perkawinan nasional, kewenangan Peradilan Agama mengadili kasus perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, tidak bulat. Ada bagian yang tersisa yang kewenangan mengadili perkarannya menjadi kompetensi absolut lingkungan Peradilan Umum. Bagian yang tersisa tersebut, terutama mengenai perkara yang berkenaan dengan sengketa “harta bersama” suami isteri, sehingga perkara perkawinan bagi golonga rakyat yang memiliki personalitas ke-Islaman, ditempatkan pada dua sisi kutub. Mengenai perkaar perkawinan selain daripada sengketa harta bersama berkutub dan takluk ke lingkungan Peradilan Agama, tetapi sengketa harta bersama, tunduk ke lingkungan Peradilan Umum. Misalnya, perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam dan yang kawin secara Islam, dihadapkan ke Pengadilan Agama. Tetapi mengenai perkara harta bersama, sengketannya diadili di Pengadilan Negeri. Padahala kasus sengketa hata bersama dalam perceraian, merupakan akibat langsung dari perkara perceraian. Namun demikian, forum penyelesaian perkarannya diperiksa dan diputus oleh dua lingkungan peradilan yang berbeda.
                             Mnurut penjelasan pasal 49 ayat (2), yang dimaksuud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 antara lain:
-          Izin beristeri lebih dari seorang (izin poligami)
-          Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
-          Dispensasi kawin
-          Pencegahan perkawinan
-          Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
-          Pembatalan perkawinan
-          Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri
-          Perceraian karena talak
-          Gugatan perceraian
-          Penyelesaian harta bersama
-          Mengenai penguasaan anak
-          Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bilamana baoak yang seharusnya bertanggung  jawab tidak memnuhinya.
-          Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri
-          Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
-          Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
-          Pencabutan kekuasaan wali
-          Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut
-          Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya
-          Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas benda anak yag ada dibawah kekuasaanya.
-          Penetapan asal-usul seorang anak
-          Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
-          Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
C.    Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan 
1.      Meliputi Asas Personalita Ke-Islaman dan Wawasan Nusantara
Dengan mengaitkan asas personalitas ke-Islaman denga ketentuan pasal 49 ayat (2) huruf b, jo. Penjelasan umu angka 2 alinea kedua, yang menentukan salah satu bidang perdata tertentu yang menjadi kewenangan mengadili Peradilan Agama, berarti asas personalitas ke-Islaman dalam bidang perdata kewarisan meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan kata lain, sengketa perkara warisan yang terjadi bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk kedalam lingkungan Peradilan Agama, bukan ke lingkungan Peradilan Umum. Kalau begitu, luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditinjau dari subjek pihak-pihak yag berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama Islam tanpa terkecuali.
2.      Meliputi seluruh bidang hukum waris Islam
a.       Siapa-siapa yang menjadi ahli waris
Ditinjau dari segi ketentuan hukum warisan Islam, kedalam pokok masalah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi segi-segi hukum:
-          Penentuan kelompok ahli waris
-          Penentuan siapa yang berhak mewarisi
-          Penentuan yang terhalang menjadi ahli waris
-          Menentukan hak dan kewajiban ahli waris
b.      Penentuan mengenai harta peninggalan
Ditinjau dari segi ketentuan hukum waris Islam, hal-hal yang termasuk kedalam masalah penentuan harta peninggalan meliputi segi-segi
-          Penentuan harta tirkah yang dapat diwarisi
-          Penentuan besarnya harta warisan
c.       Penentuan bagian masing-msing ahli waris
d.      Malaksanakan pembagian harta peninggalan
D.    Kewenangan Peradilan Agama Tidak Menjangkau Sengketa Milik
lebih dahulu kita kedepankan kembali putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Desember 1979 No. i 1 K/AG/1979. Dalam putusan tersebut ditentukan suatu kaidah hukum acara yang ditegaskan: “apabila dalam suatu gugatan yang menyangkut pembagian harta warisan masih terkandung sengketa hak milik maka perkara yang bersangkutan tidak termasuk kewenangan Penagdilan Agama untuk memeriksannya tapi termasuk kewenangan Peradilan Umum”. Kaidah diatas telah dianggap dalam praktek peradilan sebagai salah satu yurisprudensi tetap. Hampir semua kalangan telah menjadikannya sebagai pedoman. Baik lingkungan Peradilan Agama maupun lingkungan Peradilan Umum, sebagian besar telah menajdikannya sebagai patokan dalam menentukan kewenangan perkara-perkara warisan bagi mereka yang beragama islam.
Bagaimana siakap UU No. 7 Tahun 1989 menyelesaikan permasalahn titik singgung sengketa milik dalam gugatan pembagian harta warisan? Tampaknya undang-undang ini bersikaf positif tapi ragu-ragu! Siakf positifnya dengan cara mengukuhkan lebih tegas yurisprudensi MA 13 Desember 1979 No. 11 K/AG/1979. Nilai kaidah hukum yang terkandung dalam yurisprudensi tersebut diangkat menjadi ketentuan undang-undang, dan dicantumkan menjadi rumusan pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang diamaksud dalam pasal 49 maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”. 
Memperhatikan bunyi pasal serta penjelasan pasal tersebut, dapat ditarik beberapa asas sebagai acuan pedoman bagi Pengadilan Agama mengadili perkara yang didalamnya terkandung sengketa milik.


1.      Sengketa Milik Kompetensi Absolut Peradilan Umum
Inilah asas pertama. Segala sengketa keperdataan yang menyangkut hak kebendaan atau berdasar perikatan, sekalipun objek sengketa itu tersangkut perkara di Pengadilan Agama maka sepanjang sengketa hak kebendaan mutlak menjadi kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) untuk mengadilinnya. Mengenai bentuk-bentuk sengketa hak kebendaan, bisa berupa sengketa hak milik, hak gadai berdasar hukum adat, hak agunan bauk agunan biasa atau agunanan hipotek, tukar-menukar, jual beli, dan sebagainya. Terhadap sengketa keperdataan dimaksud mutlak menjadi kewenangan Peradilan Umum untuk mengadili.
2.      Kewenangan Absolut Peradilan Umum Atas Sengketa Milik Meliputi Harta Bersama, Hibah, dan Wakaf
Demikian jangkauan sengketa milik setelah berlaku UU No. 7 Tahun 1989, bertitik dari ketentaun pasal 50. Tidak semata-mata hanya terbatas dalam perkara warisan, tetapi meliputi semua jenis perkara dalam semua bidang hukum yang menajdi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Selama dalam satu perkara yang diperiksa lingkungan Peradilan Agama yang terkait sengketa milik atau sengketa keperdataan lain, selama itu memeriksa dan memutus perkara, apabila sengketa milik atau keperdataan lain telah tuntas selesai dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini memang merepotkan, dan bahkan bisa menghambat kelancaran penyelesaian perkara seperti yang akan diuraikan nanti dalam bagian lain.
3.      Asas Tata Cara Penyelesaian Terbatas Atas Objek yang Tidak Tersangkut Sengketa Milik
Bagaimana tat cara penyelesaian perkara yang didalamnya ada terkandung sengketa milik atau sengketa keperdataan lain, telah diberikan acuan “umum” atau asas umum dalam pasal 50. Untuk lebih memahami penerapan asas umum tersebut, harus dihubungkan dengan penjelasan pasal 50 itu sendiri yang berbunyi “penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa diamkssud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu”.
E.     Hak Opsi Dalam Perkara Warisan
           Yang dimaksud dengan hak opsi dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang digunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Hak opsi dalam UU No 7 Tahun 1989 dijumpai dalam bagian penjelasan umum angka 2 alinea keenam yang berbunyi “sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.”
           Latar belakang pemberian hak opsi dalam bidang hukum warisan bertitik tolak dari pandangan diskriminasi jumlah bagian anak lelaki dengan anak perempuan. Perbedaan jumlah bagian tersebut dianggap tidak adil dan kurang manusiawi. Cuma pembuat undang-undang tidak mau berterus terang. Tapi, lari bersembunyi ke arah pemberian hak opsi. Dengan demikian pemberian hak opsi dalam undang-undang dapat dianggap sebagai pelarian dari kekurang beranian menetapkan suatu ketentuan yang memberi bagian yang sama besarnya antara anak lelaki dengan anak perempuan.
a.       Hak opsi tidak bertentangan dengan asas perdata
Seperti yang sudah dikatakan, bidang warisan termasuk jajaran hukum perdata atau hukum privat (privat law). Pada umumnya, hukum perdata bersifat “mengatur” atau aanvullrenrencht, dan jarang yang bersifat “memaksa” atau dwingend recht. Para pihak dapat menyingkirkan aturan perdata melalui “persetujuan”
b.      Terlepas dari persoalan setuju atau tidak akan eksistensi hak opsi dalam perkara bidang hukum warisan, ditinjau dari segi hukum acara dan penyelesaian perkara, hak opsi menimbulkan problema hukum. Problemanya bisa kompleks. Pertama, kesulitan untuk menemukan kesepakatan tentang warisan mana yang mereka pilih. Bukankah menurut penjelasan umum tersebut, operasional hak opsi dilakukan para pihak “sebelum” berperkara. Berarti sebelum penggugat mengajukan gugat ke Pengadilan Agama, penggugat mendatangi atau mengundang para penggugat.

F.     Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Wasiat Dan Hibah
           Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b, kewenangan mengadili Peradilan Agama termasuk bidang wasiat dan hibah. Cuma pada akhir kalimat terdapat ketentuan yang berbunyi: “........dilakukan berdasar hukum Islam”. Jika kalimat tersebut dihubungkan dengan kewenangan lingkungan Peradilan Agama mengadili perkara-perkara wasiat dan hibah serta dikaitkan dengan tata hukum Eropa dan Adat, kewenangan dimaksud bisa menjadi kabur.
           Persoalannya sebagai berikut. Bertititk tolak dari ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b jangkauan kewenangan lingkungan Peradilan Agama mengadili perkara wasiat dan hibah digantungkan pada syarat, hanya sepanjang wasiat dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam. Syarat ini memang logis dan rasional, tetapi oleh karena patokan syarat terlampau menekankan pada unsur berdasarkan hukum Islam, bisa menimbulkan kekaburan. Sebab kalau diteliti secara seksama antara wasiat dan hibah yang terdapat dalam hukum Eropa serta hukum Adat, terdapat persamaan universal. Asas umumnya boleh dikatakan tidak berbeda. Sama-sama menganut asas umum: sebagai bentuk persetujuan yang bersifat “sepihak” dan bersifat “Cuma-Cuma”. Mengenai objeknya juga sama-sama bertujuan untuk memberi “keuntungan” kepada penerima wasiat dan hibah.
G.       Sengketa Milik Sebagai Faktor Kendala
           Setiap Perkara hata bersama dan warisan akan mengalami sengketa milik akan mengalami peoses peradilan yang berulang-ulang pada tingkat petama di dua lingkungan yang berbeda yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum. Hal ini  yang menjadi kendala  karena pada Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989  ini menegaskan bahwa , bila dalam  suatu perkara yang sedang diproses di Pengadilan Agama barang objek yang diperkarakan nmengandung sengketa milik atau keperdataan lain, khusus mengenai barang objek yang diperkarakan mengandung sngketa milik tersebut harus diputus lebih dahulu dalam lingkungan Peradilan Umum.
           Sehingga, sengketa yang terjadi tersebut harus melalui sistem hukum peraddilan umum selama bertahun-tahun minimal 10-13 tahun baru ditangani oleh Peradilan Agama.
           Kenapa terjadi demikian? Karena kita harus meneyelesaikan sengjketa miliknya terlebih dahulu. Jika perkara pembagian sengketa mliknya termasuk juga kewenangan Pengadian Agama. Maka, bisa menghemat waktu dan biaya perkara karena harta bersama dan warisan terselesaikan dalam satu forum Peradilan Agama.

H.       Sengketa Milik hanya Meliputi Pihak Ketiga
           Jika dalam kasus harta bersama terdapat sebidang tanah lalu ada pihak ketiga yang mengaku tanah itu miiliknya. Maka putusan yang diambil Pengadilan Agma, karena perkara itu harus diselesikan perkara sentgketa miliknya terlebih dahulu. Sesuai denganm pasal 50  UUNO 7 1989 ini.
I.         Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Mengadil Sengketa Kompetensi
           Apabila terjaddi sengjketa antara 2 Pengadilan Agama di antara kabupaten/kota maka Pengadilan Tinggi berhak untuk mengadilinya. Sesuai pasal 51 ayat (2)/ sehingga
           1. Mengadili sengketa kompetensi bagi Pengadilan Tinggi Agama adalah keputusan akhir dan tidak bisa mengajukan banding atau kasasi.
           2.  Jika terjadi sengketa antara Pengadilan Agama yang berlainan Daerah Hukum Pengadilan Tinggi agama. Maka Mahkamah Agung yang berwenang mengadilinya karena agar tidak ada perselisihan antar Pengadilan Tinggi Agama yang berbeda wilayah hukum tersebut. Kemudian,keputusan yang diambil oleh Mahkamah Agung adalah final serta tertutup segala upaya hukum untuk perkara yang ada.
J.        Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Mengawasi Jalannya Peradilan
           Terdapat pada beberapa pasal tentang kekuasaan Pengadilan Tinggi dalam mengawasi jalannya peradilan yaitu:
           1.         kewenangan mengawasi apakah para hakim, panitera dan jurusita benar-benar melaksanaan pemeriksaan sesuai  perundang-undangan serta hukum yang berlaku., mengamati apakah Pengadilan Agama dalam melaksanakan fungsi kewenangan peradilan, asas-asas umum yang ditentukan undang-undang seperti asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
           2.         Membei keterangan, pertimbangan dan nasihat terdapat pada pasal 52 Bab IIIb UU NO 7 Tahun 1989.
           3.         Prosdur pemberian keterangan, pertimbangan atas dasar permintaan pengadilan Agama tingkat pertama. Terdapat pada pasal 52 ayat 1 BAB III UU NO 7 Tahun 1989.
           4.         Dilarang untuk memberi pertimbangan dan nasihat dijelaskan pada paal 52 ayat 1 jika perkara tersebut sedang atau akan diperiksa di Pengadilan.

BAB III
KESIMPULAN dan Saran
A.       Kesimpulan
           Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi agama mempunyai kekuassaan mengadilinya masing-masing. Smeua itu terdapat pada perundang-undangan yang ada. Pengadilan Agama meupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeiksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang beragama Islam dibidang pekawinan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah berdasar hukum Islam.
           Kemudian Pengadilan tinggi Agama berrkuasa mengadili sengketa antara pengadilan agama yang berdaerah hukum sama,. Mengawasi pengadilan agama dalam segi menjalankan dan menyelesaikan perkara yang ada.
           Ada beberapa kendala perkara yang tidak bisa diselesaikan dengan cepat oleh Pengadilan Agama karena tersangkut sengketa perkara yang harus diselesaikan oleh Penngadilaan Umum contohnya sengketa harta bersama dan waris karena haus mengetahui terlebihdahulu kepemilikan yang ada.
B.       Saran
           Sebaiknya ada pembaruan huum agar perkara yang diselesaikan pada Pengadilan Agama memiliki kemerdekaan yang hakiki untuk menyelesaikan perkara. Sehingga mengehemat waktu dam biaya berperkara.



DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya.  2009. KEDUDUKAN DAN ACARA PERADILAN AGAMA UU NO 7TAHUN 1989.JAKARTA: SINAR GRAFIKA

UU NO 7 TAHUN 1 989

Komentar

Postingan Populer

Keutamaan Taubat: Tanqihul Qaul

Keutamaan Nikah: Tanqihul Qaul

Fawatih As-suwar