Total Pengunjung

Pernikahan beda Negara/kawin campur


MAKALAH
“STATUS ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN”
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional
Dosen : Dr.Iin Ratna Sumirat, M.Hum.
*DILARANG MENGUTIP/MENYALIN ISI MAKALAH INI TANPA SUMBER BLOG INI

                                               
Disusun oleh kelompok III :
1.    Ade Suntomo                             151100396
2.    Muhamad Abdul Azis               151100371
3.    Irfan Izzudin                               151100390
4.    Aenatul Mardiyah                      151100366
5.    Shofi Kamila Azhari                  151100375
6.    Nadya Nurul Hidayah               151100383
7.    Dewi Juniati                               151100400


JURUSAN HUKUM KELUARGA – A/VI
FAKULTAS SYARIAH
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

TAHUN AKADEMIK 2017/2018


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
            Di era globalisai ini, perkawinan antara warga negara yang berbeda tidak bisa kita hindarkan. Karena, pertemuan semakin mudah dilakukan. Contohnya yang terjadi di negara Indonesia ini. Banyak aktor dan aktris Indonesia menikah dengan orang asing.
            Seperti Bunga Citra Lestari yang sering dipanggil BCL memiliki suami yang berkewarganegaraan Malaysia. Ketika menikah banyak yang harus diurus karena terjadinya perkawinan campuran internasional, yang berarti perkawinan antar warga negara yang berbeda, malaysia dengan Indonesia.
            Hal-hal yang harus diurus dalam perkawinan campuran internasional ini sangatlah banyak, karena itulah akibat perkawinan campuran seperti akta nikah, status anak dan lain-lain. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan membahas status anak dalam perkawinan campuran. Sebab, masalah ini akan semakin banyak terjadi di kalangan masyarakat umum, bukan hanya terjadi pada para aktor dan aktris.
            Oleh karena itu, masalah ini sangat menarik dan penting untuk dibahas di zaman globalisasi yang terus semakin bekembang ini. Maka, pada keempatan kali ini, kami mencob membedah dan merinci setiap unsur terpenting dalam status anak perkawinan campuran.
B.        Rumusan Makalah
            Dari latar belakang di atas, kita dapat mengetahui runusan masalah sebagai berikut:
            1.         Apa itu pernikahan campuran?
            2.         Bagaimana akibat pernikahan campuran?
3.                     Dalam akibat pernikahan campuran, ada status anak. Bagaimana posisinya?


C.        Tujuan
            Dari rumusan masalah, kita dapat mengetahui tujuan makalah ini sebagai berikut:
            1.  Untuk mengetahui perkawinan campuran lebih rinci.
            2.  Untuk mengetahui akibat perkawinan campuran.
            3.  Untuk mengetahui posisi anak dalam perkawinan campuran.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.        Perkawinan Campuran
            Pada waktu sekarang ini perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan pihak asing banyak teijadi. Diantara mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pelajaran diluar negeri banyak yang melanjutkan perkawinan dengan perempuan-perempuan negara dimana mereka belajar. Misalnya mahasiwa Indonesia ini banyak yang menikah dengan perempuan-percmpuan Jerman, Belanda dan sebagainya. Warganegara Indonesia, juga menikah dengan perempuan R.R.C. Perempuan Indonesiapun ada yang menikah dengan laki-laki Amerika, Belanda, Inggris dan sebagainya. Perkawinan ini dapat dilangsungkan diluar negeri tetapi mungkin pula di Indonesia.
Semua persoalan hukum yang timbul karena perkawinan campuran ini memperlihatkan unsur-unsur asing. Karena persoalan-persoaian termasuk bidang HPI.
Dalam Undang-undang Kewarganegaraan RI. No. 62 tahun 1958 terdapat ketentuan-ketentuan khusus mengenai akibat-akibat perkawinan carmpuran ini bagi kewarganegaraan pihak-pihak yang bersangkutan. Ditentukan bagaimana akibat-akibat dari pada perkawinan seorang pria warganegara dengan perempuan asing (pasal 7). Juga diperhatikan akibat daripada perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan Indonesia dan pria asing (pasal 8). Segala sesuatu ini menimbulkan persoalan-persoalan yang banyak sedikit berhubungan dengan bidang HPI.
Seringkali pula timbul persoalan-persoalan sulit yang disebabkan karena hubungan perkawinan campuran internasional ini hendak diputuskan setelah para pihak tiba di Indonesia. Misalnya seorang pria Indonesia beragama Islam telah menikah di Bonn dengan perempuan Jerman. Kemudian pihak laki-laki harus kembali ketanah air dan sang isteri mengikutinya. Setelah di Indonesia ternyata perkawinan ini tidak berbahagia. Pihak perempuan Jerman ingin bercerai, tetapi sang suami Indonesia tidak mau memberikan bantuannya. Menurut hukum manakah harus diselesaikan perceraian ini: hukum B.W., hukum Islam atau BGB Jerman? Jika perkawinan ini diputuskan menurut cara-cara yang berlaku untuk pihak laki-laki Gadi pasal 2 GHR), apakah cerai ini dapat diakui diluar negeri (misalnya oleh hakim Jerman bila pihak perempuan kelak kembali ke tanah airnya.

Salah satu persoalan dalam HATAH ialah apakah perkawinan internasional termasuk lingkungan kuasa dari Peraturan Perkawinan Campuran, S. 1898 no. 158.
Jika diperhatikan kata-kata yang dipakai oleh pembuat undang-undang waktu mengadakan interpretasi otentik mengenai apa yang diartikan dengan istilah perkawinan campuran (gemengd huwelijk), kita saksikan dipergunakan perumusan yang yang luas: "Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda adalah perkawinan campuran ("huwelijken tusschen personen, die in Indonesie aan een versschillend recht onderworpen zijn, worden gemengde huwelijken genoemd").
Sudah terang dari kata-kata yang dipergunakan ini, perkawinan internasional termasuk di dalamnya. Perkawinan internasional ini selalu campuran, karena orang-orang yang melangsungkan perkawinan demikian takluk di bawah hukum yang berbeda. Juga jika perkawinan dilakukan di luar negeri dan mereka kelak ke Indonesia, mereka akan takluk di bawah hukum yang berbeda. Oleh karena itu, perumusan yang dipakai dalam pasal 1 GHR dapat menc akup pula perkawinan-perkawinan HPI.
Telah menjadi ketetapan, antara para sarjana hukum yang berkecimpung dalam HATAH Indonesia, bahwa yang terang termasuk perumusan pasal 1 GHR itu ialah: Perkawinan HAG. Mengenai perkawinan HAA (Interreligieus recht, hukum antaragama) dan HAT (Interlocaal recht, hukum antartempat) terdapat perbedaan paham: ada yang menganggapnya termasuk, mereka menganut pendirian luas dari GHR.  Tetapi ada pula yang merumuskannya secara "sempit" dan menganggap baik HAA maupun HAT tidak termasuk. Sedangkan ada pula yang mengambil jalan tengah dengan menganggap HAA turut termasuk tetapi HAT tidak.
Menurut mereka yang disebut belakangan ini, perkawinan. perkawinan yang bersifat HAT (yakni antar orang-orang dari suku bangsa berlainan, tetapi dalam golongan rakyat ’bumiputra’ yang sama, misalnya seorang perempuan Sunda yang menikah dengan pria Palembang tidak termasuk di dalam lingkungan kuasa GHR.
Waktu membahas segala sesuatu ini dalam disertasi kami dari tahun 1955, kami telah mengemukakan pendirian yang kuat. Kami hendak menarik di dalam GHR ini segalan macam perkawinan yang bersifat campuran:
1). Baik yang bersifat "inter-territoriaal" perkawinan campuran internasional, perkawinan campuran antarregio-interegional, perkawinan campuran antartempat-interlokal).
2). Maupun yang bersifat "intern-nasional" (perkawinan antar-agama-interreligius, perkawinan campuran antar-golongan-intergentiel).
Praktek hukum kiranya menetapkan hal ini.
           
B.        Akibat Perkawinan Campuran
            Hak-hak dan kewajiban-kewajiban  para mempelai, baik untuk hubungan pribadi antarmereka maupun mengenai harta benda (huwelzjksgoederenrecht) diatur pula oleh hukum nasional. Tentang hukum harta benda perkawinan akan diadakan tinjauan khusus kelak.
Hal ini dapat disandarkan atas pengertian dan pengisian istilah 'status personal' yang tercantum dalam pasal 16 AB. Juga dalam jurisprudensi Indonesia kita saksikan hal ini.
Negara-negara yang tergabung dalam Konvensi Den Haag dari 17-7-1905 tentang perselisihan-perselisihan hukum berkenaan dengan akibat-akibat perkawinan dapat didasarkan atas Konversi itu.
Juga dalam BW kita saksikan adanya ketentuan yang serupa (Pasal 4 dan 5, kini Pasal 3 dan 4). Ditentukan bahwa hukum nasional yang mengatur hubungan-hubungan pribadi antara para suami-istri dan hukum harta benda perkawinan, baik tidak ada syarat perjanjian maupun berkenaan dengan kemungkinan untuk mengadakan penyimpangan dari stelsel hukum menurut Undang-undang dengan jalan membuat syarat-syarat perjanjian itu serta akibat-akibat daripada penyimpangan tersebut.
Apabila masing-masing para mempelai mempunyai kewarganegaraan yang sama pada waktu dilangsungkan perkawinan atau akan memperoleh kewarganegaraan yang sama karena perkawinan seperti umumnya ditentukan dalam perundang-undangan kewarganegaraan yang klasik, maka tidak akan timbul kesulitan-kesulitan. Kesulitan baru timbul jika terdapat kewarganegaraan berbeda.
Perbedaan ini mungkin terjadi dari semula, yakni pada saat perkawinan dilangsungkan masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berlainan dan para pihak tetap mempertahankan kewarganegaraannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan kewarganegaraan modern.
Dalam E.W. ditentukan bahwa dalam hal perbedaan kewarganegaraan ini, maka yang berlaku hukum nasional dari sang suami.
Pasal 4 (kini Pasal 3) itu berbunyi: "De rechten en verplichtingen tussen echtgenoten worden bepaald door de nationale wet van de man. Wanneer nochtant de nationale wet van de man ' de gehuwde vrouw geheel of ten dele onbekwaam verklaart, wordt een zodanige bepaling op de vrouw, die een andere nationaliteit dan haar man heeft, slechts toegepast, voor zover als haar nationale wet daarmede overeenstemt."
Di sini dianut prinsip bahwa hukum dari pihak suamilah yang menentukan. Ketentuan ini, kini telah mengalami kecaman-kecaman yang keras, satu dan lain karena kini kita hidup dalam  lkllm persamarataan antara pria dan wanita.
Pada E.W. diadakan pengecualian mengenai kemampuan bertindak dalam hukum. Jika menurut hukum sang suami, pihak istri tidak dapat bertindak dalam hukum tanpa bantuan dan kuasa seperlunya sang suami, maka ketentuan ini, apabila bertentangan dengan hukum nasional dari sang istri, dianggap tidak berlaku.
Untuk selanjutnya di sini ditunjuk kepada apa yang telah dikemukakan dalam bab ’Status Personal' mengenai 'kewenangan bertindak, soal nama dan kemudian dalam bab khusus mengenai hukum harta benda sebagai akibat dari perkawinan.
Dari akibat perkawinan ini, kita ketahui bahwa titik permasalahan yang akan diangkat adalah warganegara, domisili di luar negeri dan di internal indonesia. Maka dari itu, harus kita ketahui terlebih dahulu tentang apa itu warga negara dan domisili. Di bawah ini kami jelaskan secara rinci: 
ü  Prinsip kewarganegaraan
Negara yang berpegang prinsip kewarganegaraan (nationality) menentukan status personil dari seorang (baik dari negaranya atau asing) ditentukan oleh hukum perdata nasional mereka sesuai dengan kewarganegaraan orang yang bersangkutan. Jadi menurut prinsip ini, dalam contoh diatas, maka hukum inggrislah yang akan diberlakukan. Berarti orang tersebut harus dinyatakan (capasity to act) untuk melakukan perbuatan hukum.
            Negara-negara yang menganut prinsip kewarganrgaraan ialah :
Di eropa : prancis, belanda, belgia, luxsenbug, yunani, italia, romania, portugal, spanyol, monaco, swis, german, hungaria, checchoslovakia, bulgaaria, yugoslavia, albania, turki, finlandia dan swedia.
Di Asia : Jepang, China, Iran, Moangthai, dan Indonesia.
Di Amerika Selatan dan Tengah: Equador, Chilli, Salvador, Columbia, Costarika, Cuba, Honduras, Panama dan Mexico.
Swedia tahun 1951 berpindah menjad penganuti prinsip domissili.
Sovyet Rusia, Australia dan Venezuela, juga menganut prinsip keWarga negaraan, walaupun tidak secara timbal balik. Artinya, Warga negara mereka tunduk pada hukum negaranya, dimanapun mereka berdiam (di negara asing), ssdangkan orang asingbyang berdiam dinegara-negara tersebut dianggap tunduk kepada negara dimana mereka berdiam.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh yang setuju dengan prinsip kewarganegaraan (nasionalitas) ialah :
1.         Prinsip ini paling cocok untuk perasaan hukum seseorang
Dengan prinsip kewarganegaraan ini terlaksanalah adaptasi kepada perasaan hukum daripada yang bersangkutan. Hukum nasional yang dihasilkan lleh warga-warga dari suatu negara tertentu ini lebih cocok bagi warga negara yang bedsangkutan. Pembuat hukum nasional ini lebih kenal kepada kepribadian dan kebutuhan dari warga negaranya sendiri.
2.         Lebih permanen dari hukum domisili
Prinsip kewarganegaraan lebih tetap (permanen, mantap) daripada prindip domisili. Karena kewarga negaraan tidak demikian mudah berubah-ubah seperti halnya domisili (tempat kediaman). Sedang personil yang termasuk kepada pengaturan hubungankeluarga memerlukan stabilitas (kemantapan, permanent) sebanyak mungkin.
3.         Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak Kewarganegaraan karena pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui daripada domisili seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti dari negara yang bersangkutan, dalam peraturan-peraturan kewarganegaraan inj diatur cara-cara memperoleh dan kehilangan kehilangan kewarganegaraan suatu negara.
ü  Prinsip Domisili
Negara yang berpegang kepada prinsip domisili (tempat kediaman) menentukan bahwa status personil dari seseorang (baik warga negara maupun asing) ditentukaan oleh hukum perdata yang berlaku dinegara tempat kediamaan oraang tersebut (domisilinya).
    Jadi menurut prinsip ini, dalam contoh diatas, orang tersebut belum dinyatakan orang dewasa, sebab berlaku hukum Hungaria- hukum tempat orang tersebut berdiam. Menurut hukum perdata hungaria, orang tersebut belum mencapai usia dewasa, karena belum berumur 24 tahun.
     Negara-negara yang menganut prinsip Domisili ialah:
Di Eropa: British Commonwealth (inggris), Scotlandia, Norwegia, Denmark, Iceland. Di Amerika: Amerika Serikat, Brazillia, Argentina, Bolivia, Paraguai, Peru, Uruguay, Nicaragua, Guatemala.
        Alasan-alasan hang dikemukakan oleh yang setuju dengan prinsip domisili ialah sebagai berikut:
1.         Hukum Domisili ialah hukum dimana orang yang bersangkutan sesungguhnya hidup. Tempat sehari-hari ia hidup, sudah sewajarnya jika hukum tempat itulah yang dipakai untuk menentukaan status personilnya. Orang tersebut bukan sajamencocokkan diri dengan kebiasaan-kebiasaan, bahasa, pandangan sosial dimana ia hidup, tapi juga ketentuan-ketentuan hukum dari negara yang bersangkutan yang mengenai status personilnya. Orang-orang di sekitar juga akan memperoleh lebih banyak kepastian hukum apabila berhubungan dengan orang asing tersebut ditempat kediamannya.
2.         Prinsip kewarganegaraan sering memerlukan bantuan domisilik,
Prinsip kewarganegaraan sering tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili. Misalnya kalau tsrdapat perbedaan kewarganegaraan dalam suatu keluarga, antara suami, isteri dan anak. Halnjni terutama pada akhir-akhir ini dimana pihak istri dianggap sudah mempunyai hak yang sam dengan pihak suami.
3.         Hukum Domisili sering sama dengan Hukum Hakim
Diajukan suatu perkara dihadapan hakim dari tempat tinggal dari para pihak atau pihak penggugat yang merupakan pegangan utama untuk menentukan kompetensi yurisdiksi hakim, dalam banyak hal hukum domisili jni bersama dengan hukum sang hakim. Jntuk kepentingan para pihak sendiri, bahwa sedapat mungkin seorang hakim memakai hukumnya ssndiri karena seorang hakim tentunya lebih mengenal hukum nasionalnya daripada hukum asing.
4.         Prinsip domisili cocok deengan negara-negara dengan pluralisme hukum. Prinsip domisili dapat dipergunakan dengan baik dalam negara-negara yang struktur hukumnya tidak mengenal persatuan hukum. Jika ada pluralisme atau aneka warna hukum dalam suatu negara, prinsip kewarganegaraan tidak dapat dipakai dengan baik, perlu dibantu oleh prinsip domisili.
5.         Domisili menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan
Kadang-kadang prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan karena orang tersebut tidak berkewarganegaraan (apatride), atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan (bipatride, multipatride).
6.         Demi kepentingan adaptasi dan assimilasi dari para imigran
Agar supaya dapat dipercepat proses adaptasi dan assimilasi dari orang-orang asing, maka sebaiknya negara-negara imigrasi memakai prinsip domisili. Dengan demikian dapat dicegah kelompok orang-orang asing yang tetap mempertahankan hubungan dengan negara asalnya, dan dalam taraf lebih luas ikatan-ikatan dengan negara asal mereka.
ü  Prinsip Yang Dianut di Indonesia
     Di Indonesia pada zaman Hindia Belanda mula-mula dianut prinsip-prinsip domisili. Namun sejak tahun 1915, Stbl. No. 299 yo no. 624 diadakan perubahan dan dianut prinsip kewarganegaraan, seperti yang terdapat dalam pasal 16 AB.
   Ketentuan menganut prinsip kewarganegaraan apa yang terdapat dalm pasal 16 AB tersebut sampai sekarang masih berlaku, tidak diadakan perubahan.
 Gautama ( 1977: 85,86) berpendapat bahwa untuk Republik Jndonesia sebaiknya dianut prinsip domisilj, dengan alasan sebagai berikut:
1.         Alasan praktis, bahwa dengan pemakaian prinsip domisili dapay diperkecil berlakunya hukum asing. Pemakaian prinsip nasionalitas mempunyai pembawaan bahwa hukum asing akan banyak dipergunakan.
2.         Dalam acara berpekara lazimnya dipergunakan BW untuk golongan Europa dan Timur Asing, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah orang tersebut berstatus WNA atau WNI.
3.         Praktek hukum sekarang ini adalah sejalan dengan praktek hukum dan administrasi hukum antara (antara lain dari Balai Harta Peninggalan), dimana ternyata walaupun sudah sejak tahun 1915 kita menganut prinsip kewarganegaraan, masih saja domisili yang dianggap menentukan hukum yang beraku tanpa menghiraukan status warna negara atau asing.
4.         Indonesia sekarang ini masih belum mempunyai cukup bahan bacaan untuk mengetahui dengan baik akan hukum asing. Ahli-ahli tentang hukum asing yang mungkin dapat didengar sebagai expert oleh pengadilan belum tersedia.
5.         Di indonesia sekarang ini masih terdapat pluralisme hukum. Adanya pluralisme hukum intern merupakan faktor yang mencondongkan kita kepada pemakaian prinsip domisili.
6.         Indonesia hingga beberapa waktu yang lalu merupakan negara imigrasi. Banyak orang-orang asing yang terdapat di sini.
7.         Sebagai negara imigrasi maka secepat mungkin RI hendaknya melakukan assimilasi pada orang-orang asing ini.
8.         Di indonesia dianggap terletak dalam lingkungan suasana negara-negara tetangga yang memakai prinsip domisili. Negara-negara ini tergabung dalam Commonwealth seperti Australia, India, Pakistan, Singapura, Malaysia, terpengaruh oleh sistem HPI yang berdasarkan prinsip domisili untuk personil.
Namun Gautama (1977:87) di bagian lain menulis;
“Menurut pendapat kami sebaiknya Republik Indonesia memakai juga juga prinsip domisili. Tetapi perlu juga ditambahkan bahwa kali tidak menolak untuk pemakaian prinsip Nasionalitas bagi sistem HPI di Indonesia. Hanya harus dijaga supaya jangan prinsip Nasionalitas ini dipakai secara rigorouskaku, hingga membawa kepada “yuridisch chouvinisme”.
Sedangkan Wiryono Projodikoro (1979:23) berpendapat bahwa Prinsip domisili sudah sepatutnya dianut dinegara yang penduduknya sebagian besar terdiri dari golongan-golongan orang yang berasal dari bermacam negara seperti di Amerika Utara dan Amerika Selatan. Sedangkan dalam suatu negara yang diantara penduduknya hanya sedikit adanya orang asing maka sebaiknya dianut prinsip kewarganegaraan.


C.        Posisi Status Anak dalam Perkawinan Campuran’
            Orang tua mempunyai kekuasaan tertentu atas anak mereka (ouderlijke macht, patria potestas dari hukum Romawi). Berdasarkan pertimbangan kesatuan hukum dalam keluarga, hukum personal dari sang ayah yang dipergunakan untuk menentukan hubungan  hukum antara kedua orang tua dan anak mereka. Juga dalam zaman modern dimungkinkan bagi pihak isteri dan anak untuk mempunyai hukum personal yang berlainan (kezafganegaraan yang berbeda) hal ini tetap dipertahankan. Demikian misalnya di negara-negara Eropa kontinental: JeIman, Itali, Perancis, Eenvormlge Wet Benelux, negara-negara Asia yang telah mengoper sistem HPI-Jerman; Jepang, Cina dan Tailand. Sepanjang tidak ada perbedaan kewarganegaraan atau domisili dalam keluarga tidak banyak timbul, kesulitan mengenai hal ini. Tetapi lain halnya bilamana terdapat perbedaan.
Sering pula timbul perkara-perkara karena anak-anak yang berdiam dalam wilayah suatu negara diberi perlindungan oleh pengadilan-pengadilan negara bersangkutan terhadap orang tua mereka yang berstatus asing. Dalam hal ini, tampak kecondongan untuk mempergunakan pula hukum personal , walaupun sering "ketertiban umum" muncul demi dipergunakannya hukum forum. Ontheffing atau ontzetting dari onderlijke macht di Nederland dianggap bersifat openbare orde dan syarat-syarat B.W. dianggap sebagai minimum
Pada tanggal 5-10-1961 telah ditandatangani suatu Convention concemant la competennce des autorities et al loi applicable en matiere de protection des mineurs, yang juga didasarkan "tempat tinggal defakto" (gewohnlichen Aufenthalt, residence habituelle) dari semua anak belum dewasa dalam wilayah setiap negara. Di samping pemeliharaan dan pendidikan sang anak, termasuk pula dalam ouderlijke machtini, pemeliharaan dari harta benda sang anak. Di samping itu, sang ayah yang mewakili anak di bawah umur mengenai tindakan-tindakan hukum dan di muka pengadilan. Juga kewajiban memberi nafkah baik dari pihak orang tua terhadap anak maupun sebaliknya adalah suatu ciri tertentu dari hubungan sah antara orang tua dan anak. Mengenai persoalan nafkah pada anak-anak yang tidak sah yang banyak menimbulkan persoalan, akan diadakan tinjauan tersendiri.
·         Anak-anak sah
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal seseorang. Baik dalam hukum Prancis kuno maupun dalam Oud Vaderlands recht, kita saksikan pendirian demikian akan tetapi waktu itu berbeda dengan keadaan sekarang yang dimulai dengan introduksi code civil Perancis. Hukum peresonal seseorang dikaitkan kepada domisili dan tidak kepada kewarganegaraan.
Juga antara sistem-sistem hukum common law dan negara-negara civil law terdapat kesatuan pendapat mengenai hal bahwa hukum personal (personal law) seseorang karena ini lebih stabil dan continue, akan merupakan faktor penentu mengenai hukum yang harus dipergunakan. Akan tetapi mengenai prinsip manakah akan dipergunakan terdapat perbedaan faham negara-negara common law sepereti diketahui berpegangan kepada prinsip domisili, sedangkan negara-negara civil law umuya menganut prinsip nasionalitas.
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (faktor familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah ini hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitasnya, dan penghormatan dari seseorang istri dan hak-hak marital. Akan tetapi, di USA terdapat perbedaan mencolok oleh karena dianut sistem penentuan hubungan sah antara sang anak ayah dan anak ibu tersendiri. Hal ini disebabkan karena prinsip menyamarataan kedudukan pria dan kedudukan wanita. Tetapi tidak dapat disangkal  sistem in membawa banyak kesulitan.
Domisili ayah sebagai kepala keluarga yang menentukan hukum yang diperlakukan dalam sistem-sistem common law seperti Inggris dan negara-negara yang menganut prinsip domisili.
Kewarganegaraan dari ayah yang terbanyak dipergunakan di negara lain, seperti misalnya negara Jerman, Yunani, Itali, Swiss, negara-negara sosialis, Cekoslowakia, Hongaria, Polandia, dan Asia, Jepang, Cina, Thailand.
Ada juga yang hendak memakai hukum dari sang anak, tetapi suara ini tidak banyak pegikutnya. Pemakaian hukum sang ayah dalam hubungan keturunan yang sah adalah lebih beralasan. Ayah adalah kepla keluarga yang kedudukannya penting dan menentukan. Anak-anak mengikuti orang tua danbukan sebaliknya. Kepentingan orang tua  tidak kurang dari kepentingan sang anak. Yang dipersoalkan bukan saja status sang anak tetapi pula dari sang ayah. Oleh karena itu orang tualah yang menentukan parens dat statutum kata Raape. Pertimbangan-pertimbangan lain, bahwa paa anak adalah akibat perkawinan dan hubungan keturunan juga pertaliannya dengan perkawinan, maka antara kedua ini perlu ada kesatuan hulkum. Anak-anak pun umumnya tinggal pada orang tua dan tidak sebaliknya. Jika ada lebih dari satu anak, maka ada kemungkinan hukum yang menentukan status hukum mereka berbeda jika dipakai hkum dari sang anak. Alasan-alasan praktis yang menghendaki dipakainya hkum sang ayah untuk menentukan apakah sang anak adalah sah atau tidak, dengan perkataan lain apakah lahir suatu hubungan hukum keturunan (filiatio).
 Umumnya dalam negara-negara berprinsip nasionalitas hukum nasional seorang anak tidak dapat ditentukan sebelum mengetahui apakah ia ini adalah sah. Kewarganegaraan bergantung pada legitimacy dan yang belakangan ini juga dari kewarganegaraan. Ini merupakan vicious circle.
Di atas sudah dikemukakan bahwa dalam sistem hukum perdata internasiuonal Uni Soviet yang diikuti pula oleh negara-negara sosialis lainnya, tidak terdapat perbedaan antara anak-anak yang sah dan tidak sah.
Bagaimana harus dikualifikasikan anak-anak yang ayahnya adalah warganegara dari negara-negara tersebut? Apakah semua anak-anak adalah sah atau tidak sah? Sudah terang kualifkasi sebagai “tidak sah” sukar diterima, karena justru perundang-undangan sosialis ini dimaksudkan untuk menghapuskan golongan anak-anak yang tidak sah. Maka kualifikasi yang dipergunakan ialah bahwa  anak-anak mereka adalah sah.
·         Anak-Anak Yang Tidak Sah
Bagaimana dengan kedudukan hukum dari anak-anak yang tidak sah? Dalam HPI justru soal-soal inilah yang lebih banyak memperlihatkan soal-soalnya. Dalam berbagai hal, cara penyelesaian yang dipergunakan untuk hubungan orangtua dan anak dalam hubungan perkawinan yang sah, tidak dapat dipergunakan di sini.
a)         Hubungan dengan ibu
            Apakah antara seorang ibu dan anaknya yang dilahirkan di luar perkawinan, terdapat hubungn hukum? Menurut berbagai sistem huum memang demikian. Misalnya, menurut hukum adat Indonesia terdapat hubungan tersebut yang tidak mensyaratkan lagi dilakukannya suatu perbuatan khusus berupa pengakuan anak (erkening) untuk melahirkan hubungan itu.
            Akan tetap dalam sistem B.W. yang mengikuti Code Civil Perancis, tidak ada hubungan otomotis tersebut, tidak ada hubungan dan tidak dapat diajukan tuntutan apapun sebelum sang ibu mengakui anak bersangkutan.
            Menurut sistem HPI di banyak Negara maka hukum personal dari sang ibulah yang dipergunakan untuk menentukan hubungan hukum ini. Hukum personal ini, seperti telah di kemukakan berulang-ulang, dapat berupa hukum nasional atau hukum domisilinya.
            Sebagai contoh dari Negara-negara dengan prinsip nasionalitas dapat disebutkan di sini: Jerman, itali, Negara-negara Benelux, Austria, di Eropa kontinen, dan di Asia, Negara-negara yang telah mengoper HPI-Jerman.
            Sebagian kecil mempergunakan hukum personal dari sang anak.
            Hukum  yang dipergunakan ini mengatur soal hak seorang ibu, apakah ada hak-hak yang menyamakan hak ayah sah. Juga soal harta benda anak, soal nama dari ibu untuk anak, apakah ada domisili menurut hukum mengikuti ibu. Penting pula hubungan nafkah antara kedua pihak secara timbal balik.
b)         Hubungan dengan ayah
            Hubungan dibedakan antara hubungan antara ayah dan anak tidak sah pada umumnya dan kemungkinan untuk memperoleh nafkah (alimentatie) pada khususnya.
            Mengenai hubungan status ayah-anak-tidak-sah pada umumnya ada pendirian yang memilih dipergunakannya hukum sang ayah (parens dat statutrum). Lain halnya dengan masalah alimentasi. Pada waktu sekarang boleh dikatakan dimana-mana terkenal adanya hak dari seorang anak di luar perkawinan terhadap ayahnya untuk memperoleh tunjangan finansial ini. Mengenai besarnya jumlah ini dan sampai dimanakah, untuk jangka waktu berapa lama terdapat peraturan-peraturan tersendiri yang masing-masing berbeda.
Di berbagai Negara, seperti Nederland, Jerman, Austria dan Swiss. Misalnya, pada pokoknya tiap pria yang dalam masa konsepsi telah melakukan persetubuhan dengan ibu dari seorang anak sah, berkewajiban untuk memberikan nafkah terhadap sang anak. Di Negara lain, seperti Belgia Luxembrung dan Perancis hanya mungkin melakukan tuntutan nafkah ini atas dasar-dasar tertentu yang disebut sebagai secara Limitatip dalam undang-undang. Jadi, di sini kemungkinan lebih terbatas,. Lebih buruk lagi keadaan di Negara-negara “panas” seperti di Itali, Portugal, Spanyol, dan di banyak Negara seperti di Amerika Selatan dan Tegah, bahwa anak yang tidak sah hanya secara pengecualian dapat meperoleh ha katas alimentasi.
Di Negara-negara yang menganut konsepsi-konsepsi hukum Islam, seorang anak diluar perkawinan malaha tidak mempunyai hak nafkah sama sekali. Turki merupakan pengecualian atas ini.
Sebaliknya dinegara Scandinavia, seperti di Norwegia dan Finlandia, maka kewajiban membayar alimentasi ini kepada tiap pria yang dalam “critical period” telah bersetubuh dengan ibu bersangkutan. Mereka ini juga memperoleh julukan sebagai “pay-father” (zahlvaterschaft). Umumnya tidak akan berhasil exceptio plurium concubentium yang diajukan oleh pihak pria. Misalnya, di Swedia dan Denmark boleh ia terbebas dan kewajiban membayar alimentasi ini apabila ia dapat memberikan bukti bahwa ia tidak mungkin dapat dianggap sebagai ayah dari anak bersangkutan.
Mengenai isi dan lamanya kewajiban membayar alimentasi ini terdapat pula perbedaan. Faktor-faktor yang menentukan tidak sama. Di Jerman yang menentukan ialah kedudukan sosial dari sang ibu (lebensstellung der Mutter). Di Portugal dan Spanyol kewajiban nafkah ini hanya terbatas kepada apa yang perlu untuk hidupnya dan kewajiban untuk memberikan kepada sang anak pendidikan tingkat skolah rendah dan suatu “Profession” atau keahlian tukang (ambacht). Di Nederland sang ayah berkewajiban memberikan alimentasi menurut kekuatannya, melakukan pemeliharaan dan pendidikan sang anak (setelah dibuktikan adanya ofstamming.
Di Norwegia yang menentukan ialah kekuatan finansial dari sang ayah atau keadaan dari sang ibu, bilamana yang terakhir ini adalah lebih menguntungkan. Di inggris ditentukan vendeschap  sang ayah oleh pengadilan dan setelah itu dihukum yang belakangan ini untuk membayar tunjangan finansial yang maksimumnya ditentukan oleh Undang-Undang.
Sampai berapa lama kewajiban alimentasi ini berlangsung? Di Jerman dan Norwegia sampai usia ke 16 sang anak, di Finlandia sampai 17 tahun, di Belgia dan Swiss sampai 18 tahun, di Denmark sampai 18 tahun untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan sampai menikah, di Autria sampai sang anak “berdiri atas kaki sendiri” mengenai kehidupannya. Di Nederland kewajiban alimentasi ini berlangsung sampai anak tidak sah itu dewasa dan jika ia mempunyai kekurangan-kekurangan badan atau rohani, maka kewajiban ini terus berlaku.
Mengenai kadaluarsa di Swiss cepat sekali sudah dalam satu tahun di Prancis dan Luxembrung umurnya 2 tahun, di Belgia 3 tahun, dan di Nederland baru setelah 5 tahun gugatan alimentasi ini akan verjaard. Di berbagai Negara seperti di Jerman, Autria dan Scaninavia tidak ada jangka waktu untuk kadaluwarsa.
Selain dari, pemberian nafkah, juga dalam menarik perhatian hubungan antara ayah dan anak tidak sah, berbagai soal, sepersoal pemberian nama, penghalang-penghalang untuk menikah, soal warisan, dan hak alimentasi dari sang ayah.
Juga menarik perhatian apakah kepada anak yang lahir diluar perkawinan tersebut dapat diberikan suatu “status”tertentu, yakni dengan jalan pengakuan sukarela, atau dengan jalan ketetapn hakim dalam beberapa hal tertentu (misalnya jika terjadi perkosaan).
Mengenai tuntutan alimentasi ini terdapat pula berbagai variasi. Yang paling mudah ialah bilamana dipandang semata-mata sebagai soal pembayaran secara pinansial belaka, tanpa perlu disertai oleh sesuatu pernyataan tentang ke-bapakaan (vaderschapsachie, declaration of paternity; declaration de paternite hors marriage). Dalam sistem Perancis kewajiban alimentasi dari seorang ayah terhadap anak tidak sahnya hanya dapat berlangsung setelah diperoleh declaration de paternite dari pengadilan. Pada waktu diadakan pembicaraan sekitar alimentatieverdeag pada haagse converentie ke7 tahun 1951 telah diperhatikan secara seksama problmatik sekitar hal ini. Sistem yang dianut dalam haagse contventie 1956 bersangkutan ialah untuk melulu melihat soal kewajiban membayar alimentasi ini sebagai suatu kewajiban finansial belaka tanpa mempunyai indikasi dengan hubungan-hubungan hukum kekeluargaan.
Luiting maten dalam disertasinya tahun 1937 membedakan antara apa yang dinamakan zuivere alimentatie systemen, gemengde systemen, ennerkeningsystem. Yang pertama hanya membolehkan suatu tuntutan alimentasi bersifat finansial saja kepada anak sah, yang kedua membolehkan baik tuntutan finansial mmaupun tuntutan pengakuan sedangkan yang ketiga menggantungkan tuntutan alimentasi dari pengakuan terlebih dahulu ( secara sukarela atau paksa).
Persoalan antara orang tua dan anak ini mempunyai pula hubungan dengan masalah kualifikasi. Waktu membicarakan masalah ini kita sudah disebutkan contoh mengenai perstujuan orang tua untuk menikah, yang dapat dikualifir secara berbeda, sebagai vorm der rechtshandeling disatu pihak atau sebagai substantive condiotiouns of marriage (matereele huelijksvereisten, cavacite). Contoh lain yang berkenaan dengan masalh kualifikasi dan pembatasan diantara kaidah-kaidah hukum tertent, misalnya yang berkenaan dengan pasal 19 dan 13 EGBGB Jerman. Disini kita dihadapkan dengan pembatasan antara status yang mengatur yang keturunan dan status yang mengenai dilangsungkannya perkawinan. Jika seorang hendak menikah dan status melangsungkan perkawinan adalah berbeda dari status yang berkenaan dengan kekuasaan ayah berkenaan dengan izin perkawinan maka timbul kesulitan. Timbul pertanyaan hukum manakah yang berlaku jika harus diberikan izin dari orang tua untuk perkawinan sang anak itu.
Persoalan antara orang tua dan anak juga tampak pada maslah Vorfrage. Waktu kita membahas soal tersebut, kita sudah saksikan dari contoh-contoh yang disajikan bahawa persoalan pendahuluan ini timbul diantaranya yang berkenaan dengan masalah hubungan hukum antara orang tua dan anak. Apakah anak yang dilahirkan dari suatu “perkawinan” antara seorang laki dan perempuan adalah sah atau tidak, bergantung pada pertanyaan apakah benar menurut hukum terdapat hubungan “perkawinan” antarmereka. 
·         Pendirian hooggerechtshof
Mengenai pengakuan anak dalam bidang hukum perdata internasional dalam yurisprudensi indonesia terdapat keputusan dari hooggerechtshof tahun 1935. Dalam perkara bersangkutan dipersoalkan apakah seorang perempuan Jepang (hisayo kawai) dapat dengan sah mengakui anak di bawah umur (hien shang kawai) walau ayah dari anak-anak ini (the ing bian), waktu ‘pengakuan’ dilakukan, masih berada dalam hubungan perkawinan dengan nyonya han biauw nio.
Anak-anak dilahirkan di indonesia dari orang tua yang dianggap gevestigd di sini, maka mereka menurut hukum di indonesia dianggap termasuk golongan rakyat europeanen. Apakah hukum BW dari anak-anak tersebut ialah yang harus dipakai? Jika demikian pengakuan yang dilakukan oleh hisayo kawai adalah tidak sah karena pengakuan tidak dapat dilakukan terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perzinahan, hal mana demikian adanya, dilihat dari pihak the ing bian yang masih dalam ikatan kawin dengan han biauw nio. Atau sebaliknya, hukum dari sang ibu, sebagai pihak yang mengaku adalah yang harus dipergunakan?
Yang belakangan adalah pendirian hooggerechtshof, berlainan dari raad van jutitie, surabaya. Menurut mahkamah peradilan yang tertinggi untuk indonesia ini pengakuan HPI harus dilakukan menurut hukum dari pihak yang melakukan pengakuan itu, i.c. hukum jepang. Pengakuan sengketa karenanya dianggap sah.
Pendirian ini adalah sesuai dengan yurisprudensi tetap dalam bidang HAG-Indonesia, seperti telah kita paparkan di atas dan juga dari putusan-putusan HPI lainnya.

































BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Dalam Undang-undang Kewarganegaraan RI. No. 62 tahun 1958 terdapat ketentuan-ketentuan khusus mengenai akibat-akibat perkawinan campuran ini bagi kewarganegaraan pihak-pihak yang bersangkutan. Ditentukan bagaimana akibat-akibat dari pada perkawinan seorang pria warganegara dengan perempuan asing (pasal 7). Juga diperhatikan akibat daripada perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan Indonesia dan pria asing (pasal 8). Segala sesuatu ini menimbulkan persoalan-persoalan yang banyak sedikit berhubungan dengan bidang HPI.
Akibat dari perkawinan campuran. Apabila masing-masing para mempelai mempunyai kewarganegaraan yang sama pada waktu dilangsungkan perkawinan atau akan memperoleh kewarganegaraan yang sama karena perkawinan seperti umumnya ditentukan dalam perundang-undangan kewarganegaraan yang klasik, maka tidak akan timbul kesulitan-kesulitan. Kesulitan baru timbul jika terdapat kewarganegaraan berbeda.
            Status anak dalam perkawinan campuran dapat diketahui dengan prinsip-prinsip yang digunakan di Negara tersebut. Seperti; prinsip keWarganegaraan yang mengatur tentang status personil dari seseorang (baik Warga negaranya ataupun warga negara asing) yang ditentukan oleh hukum perdata nasional mereka sesuai dengan keWarga negaraan orang yang bersangkutan dan Prinsip Domisili yang mengatur tentang status personil seseorang (baik Warga negara atau warga negara asing) ditentukan oleh hukum perdata yang berlaku dinegara tempat kediaman orang tersebut (Domislinya).







DAFTAR PUSTAKA

Gautama, Sudargo. 2010. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid III Buku ke-7. Bandung: PT. Alumni.
Gautama, Sudargo. 2008. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid I Buku ke-1. Bandung: PT. Alumni.
Sumirat, Iin Ratna. 2018. Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional. Serang: Media Madani.

























Komentar

Postingan Populer

Keutamaan Taubat: Tanqihul Qaul

Keutamaan Nikah: Tanqihul Qaul

Fawatih As-suwar