Total Pengunjung

RIBA DAN PROBLEMATIKANYA


MAKALAH FIQH MUAMALAH
RIBA DAN PROBLEMATIKANYA
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah FIQH MUAMALAH

*dilarang menyalin/mengutip/mengkopi paste isi makalah ini tanpa sumber blog

Disusun oleh kelompok III  :
Nadya Nurul Hidayah (151100383)
Deni Hilman                (151100370)
Masrudin         (151100402)
Yusuf               (151100380)
                                                   ( Hukum keluarga A/semester III)

                                                          FAKULTAS SYARIAH
IAIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2015/2016


Bab I
Pendahuluan

A.        Latar Belakang
            Saar ini banyak sekali kegiatan jual beli dan muamalah yang berhubungan dengan uang, Dan oleh sebab itu maka kita harus lebih berhati-hati dalam melakukannya karena dalam dunia terdapat hal yang sangat merugikan antara manusia dengan manusia lainnya. Hal itu disebut dengan riba.
            Kegiatan muamalah yang bersangkutan dengan riba sudah sangat terbukti merugikan karena banyak masyarakat yang sengsara karenanya. Maka dari itu islam telah dengan tegas mengharamkan riba dalam segala praktek muamalahnya.
            Dalam makalah ini kami akan menjelaskan alasan pelarangan riba, macam;macam riba dan segala problematikanya dalam kegiatan muamalah yang telah terjadi di dunia ini.
B.        Rumusan Masalah
a.         Apa itu riba dan Kenapa riba dilarang?
b.         Adakah jenis-jenis riba?
c.         Apa saja problematika riba?
C.        Tujuan
a.         Untuk mengetahui tentang riba dan alasan pelarangan riba
b.         Untuk mengetahui jenis-jenis riba
c..        Untuk mengetahui problematika riba


BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti dan Dalil Keharamannya
1. Pengertian Riba
            Menurut Etimologi, Riba berarti tambahan, seperti arti kata riba pada QS. Al-Hajj : 5. Artinya “Kemudian apabila kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah.”
Riba menurut bahasa dalam kamus perbankan syariah adalah bunga uang, rente, dalam perbankan syariah maknanya adalah kelebihan atau tambahan, pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil; berasal dari kata raba   yang artinya bertambah. Riba juga memiliki makna lain,yaitu ziyadah yang berarti tambahan atau kelebihan. Secara teknis,riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Dalam KBBI, riba berarti (1) pelepas uang, lintah darat dan (2) bunga uang,rente.
Definisii riba yang banyak digunakan dalam literatur ekonomi syariah adalah definisi yang dirumuskan oleh imam Sarakhsi dalam Mabsut juz XII, hlm. 109 sebagai  berikut.
            “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yanng dibenarkan syariah atas penambahan tersebut
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam islam dan bersinggungan langsung dengan perbankan konvensional. Pada akhir tahun 2003, MUI secara resmi menfatwakan haramnya bunga bank konvensional. Para ahli rakyu (ijtihad) dari kalangan syiah berpendapat bahwa alasan riba diharamkan oleh allah SWT  dan nabi Muhammad SWA alah agar orang tid berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas tansaksi pinjam meminjam dan sejenisnya, padalah QARD bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia (jakfar as sidik dari kalangan syiah)
            Menurut Terminologi, ulama fiqh mendefinisikannya sebagai berikut :
a)       Ulama Hanabilah, mendefinisikan riba artinya “Pertambahan sesuatu yang dikhususkan.”
b)      Ulama Hanafiah, mendefinisikan riba artinya “Tambahan pada harta penggantidalam pertukaran harta dengan harta.”
2. Dalil keharaman riba
            Riba diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ :
  1. Al-Qur’an
Dalam QS. Al-Baqarah : 275, yang artinya “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Dalam QS. Al-Baqarah : 278-279, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah da Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Perintah terawal dari Allah adalah sekedar mengingatkan manusia bahwa riba itu tidak akan menambah kekayaan individu maupun negara, namun sebaliknya mengurangi kekayaan (Ar-Rum:39)

Perintah kedua melarang umat islam mengambil bunga sekiranya mereka menginginkan kebahagiaan yang hakiki, ketenangan pikiran, dan kejayaan hidup (An-Nisa:130)
   b. As-Sunnah
      Dalam H.R. Bukhari artinya “Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda, Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan, sahabat bertanya, Apakah itu, ya Rasulallah?, jawab Nabi, (1) Syirik (mempersekutukan Allah), (2) berbuat sihir (tenung), (3) membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali yang hak (4) makan harta riba (5) makan harta anak yatim (6) melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang dan (7) menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zinah.
Dalam H.R. Abu Daud dan lain-lain, Artinya “Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah SAW. Telah melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, saksinya, dan penulisnya.
c. Ijma’
            Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam islam.
B. Macam-Macam Riba
1. Menurut Jumhur Ulama
            Menurut Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a. Riba Fadhl
            menurut ulama hanafiayah, riba fadhl adalah tambahan zat  harta pada akad jual beli yang diukur dan sejenis.
            Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
            Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual beli antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.
b. Riba Nasi’ah
            Menurut Ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya.
            Maksudnya, menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
            Ibn Abbas, UsamahIbn Jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah. Pendapat ini didasarka pada yang diriwayatkan H.R. Bukhori dan Muslim bahwa Rasulullah bersabda. Artinya tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.
            Ulama lainnya menentang pendapat tersebut dan memberikan dalil-dalil yang menetapkan riba fadhl, sedangkan tabi’in sepakat tentang haramnya kedua riba tersebut dan perbedaan pendapat pun hilang.
            Selain itu, mereka yang menyatak bahwa hanya riba nasi’ah yang di haramkan kemungkinan tidak utuh dalam memahami hadis diatas. Asal hadis diatas adalah Nabi Muhammad SAW. ditanya tentang pertukaran antara gandum dan sya’ir, emas dan perak yang pembayarannya diakhirkan, kemuduian nabi muhammad bersabda, “tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah”. Hadis ini lebih tepat diartikan bahwa riba nasi’ah adalah riba terberat dibandingkan dengan riba lainnya.

2. Menurut Ulama Syafi’iyah
            Ulama Syafi’iya membagi riba menjadi tiga jenis yaitu ;
a)       Riba Fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.
b)      Riba Yad adalah jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jaul beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus menyerahkan dan menerima di tempat akad. Menurut Ulama Hanafiyah, riba ini termasuk  riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.
c)      Riba Nasi’ah yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.
Menurut Ulama Syafi’iyah, riba yah dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaanya adalah, jika riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
            Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti terdapat pada nash, yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma, garam, dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
            Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat :
Ø  Zhahiriyyah hanya mengharamkan ketujuh benda tersebut
Ø  Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba Fadhl pada terjadi setiap jual-beli barang jenis dan yang ditimbang
Ø  Imam Syafi’i dan sebagian pendapat Imam Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak dan makanan meski pun tidak ditimbang.
Ø  Sa’id Ibn Musayyab dan sebagian riwayat Ahmad mengkhususkannya pada makanan jika ditimbang
Ø  Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok.
Lebih jelasnya, perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut :
1.       Menurut Madzhab Hanafi, illat riba fadhl adalah jula beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain, jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang tersebut diatas, seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjual belikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadh. Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang, seperti hewan, kayu, dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya, seperti menjual satu kambing dengan dua kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadis sahih dari Said Al-Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda : “Jual-beli emas dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, apabila ada tambahan adalah riba, jual beli perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, apabila ada tambahan adalah riba, jual beli gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima apabila ada tambahan adalah riba, jual beli syair dengan syair, keduanya sama, tumpang terima, apabila ada tambahan adalah riba, jual beli kurma dengan kurma, keduanyan sama, tumpang terima, apabila ada tambahan adalah riba, jual beli garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, apabila ada tambahan adalah riba.” Diantara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu-menipu diantara manusia dan juga menghindari kemadaratan. Asal keharamannya adalah Sadd Adz-Zara’i (menurut pintu kemadaratan). Namun demikaia, tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzara’i, tetapi ada pula yang betul-betul dilarang, seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk, sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan. Ukuran riba fadhl pada makanan adalah setengan sha’, sebab menurut golongan ini, itulah yang telah ditetapkan syara’. Oleh karena itu, dibolehkan tambahan jika kuarang dari setengah sha’. Illat riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari dua sifat  yang ada pada riba fadhl dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah, seperti seseorang membeli dua kilogram beras pada bulan januari dan akan dibayar dengan dua setengah kilogram beras pada bulan februari. Contoh lain dari riba nasi’ah yang berlaku secara umum sekarang adalah bunga bank.

2.       Menurut Madzhab Malikiyah, illat diharamkannya riba menurut ulama malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl. Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut. Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama. Alasan ulama malikiyah menetapkan illat diatas antara lain, apabila riba dipahami agar tidak terjadi penipuan diantara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia, yakni makanan pokok, seperti gandum, padi, jagung, dan lain-lain.
3.       Menurut Madzhab Syafi’i, illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang, walaupun bukan terbuat dari emas, uang pun dapat menjadi harga sesuatu. Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi tiga kriteria sebagai berikut :
a)      Sesuatu yang bisa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
b)      Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya tin dan anggur kering
c)      Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan, yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.
Dengan demikian, riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi keriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama syafi’iyah, jual beli harus memenuhi keriteria sebagai berikut :
Ø  Dilakukan waktu akad, tidak mengait pembayarannya pada masa yang akan datang
Ø  Sama ukurannya
Ø  Tumpang terima
Menurut Ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berdeda jenisnya, seperti menjual gandum dengan jagung, dibolehkan adanya tambahan. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada hadis yang artinya” jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gendum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima.”
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.
C.        PROBLEMATIKA RIBA
1.         Bunga Bank Dan Investasi
secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Namun secara istilah sebagaimana dinyatakan didalam kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for financeial loan, usually a orecentage of the amount loaned. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interset yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau presentase modal yang bersangkut pautbdengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
            Timbu permasalahan, apakah bunga sama dengan riba? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu dikaji apa sebenarnya riba. Kata riba berarti: bertumbuh, menambah, atau berlebih. Ar-riba atau ar-rima makna asalnya adalah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atau tambahan modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara. Apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of landing money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama fiqh mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam muamalah dengan tidak ada penggantian atau imbalan”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terhutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Aktivitas semacam ini, berlaku luas dikalangan masyarakat yahudi sebelum datangnya islam, sehingga masyarakat arab pun sebelum pada masa awal islam melakukan muamalah dengan cara tersebut.
            Oleh karena itu, apabila kita menarik pelajaran sejarah masyarakat barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam presentase. Istilah dalam usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada jaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang, karena hanya ada satu tingkat suku bunga dipasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Riba dan masalah keuangan (investasi) evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan. Lembaga keuangan timbul, karena kebuuhan modal untuk membiayai industri dan perdagangan. Modalnya terutama berasal dari kaum pedagang (sohibbul maal). Oleh karena pada waktu itu para bankir umumnya berasal dari pedagang. Pelopor pendiri bank adalah kaum yahudi yang diikuti pribumi itali.
            Dalam menjalankan bisnis, para pedagang, pengusaha selalu membutuhkan modal. Bisnis kecil-kecilan biasanya pelakunya dapat mengatasi modalnya sendiri tetapi apabila bisnis sudah menunjukan pada perkembangannya yang besar, dan untuk mengembangkan usahanya biasanya membutuhkan modal yang cukup besar. Dalam hal iiini modal harus dicarikan dari sumber lain. Tetapi siapa orangnya yang mau meminjamkan uangnya dengan Cuma-Cuma apalagi dalam jumlah besar? Darisinilah timbul keperluan bank sebagai perantara mereka yang membutuhkan kredit dengan mereka yang memiliki surplus modal. Bank tidak memandang untuk keperluan konsumsi, produksi, perdagangan, atau jasa. Tetapi umumnya pinjaman diarahkan kepada kegiatan usaha. Walaupun ada yang memerlukan untuk konsumsi, bank hanya bersedia memberikan jika ada jaminan bahwa hutang itu akan bisa dibayar, karena itu yang menjadi sasarannya bukan orang-orang miskin.
Bank harus mengenakan ongkos untuk peminjam, karena bank pun harus membayar ongkos itu untuk bisa memberikan pinjaman. Disini dikenal apa yang disebut sebagai modal murni, yaitu tingkat bunga nominal dikurangi beberapa ongkos, seperti biaya-biaya administrasi, jaminan terhadap keamanan hutang pokok maupun bunganya. Kemungkinan merosotnya daya beli uang, baik karena inflasi maupun nilai tukar uangnya terhadap mata uang asing, dan duja ongkos-ongkos yang diperlukan untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Semua ongkos itu tentunya harus dipikul oleh debitur. Bank menarik semua ongkos itu dalam rangka menjaga amanat dari pemilik modal.
Mereka yang memiliki uang baik besar maupun kecil sebenarnya menanggung beban dan resiko dengan meminjamkan atau menyimpan uangnya itu ke bank. Pertama, ia kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan uangnya itu, baik untuk keperluan usaha maupun konsumsi. Kedua, nilai uangya bisa merosot, apalagi inflasi dari nilai tukar uang kini sudah bisa diperhitungkan, walaupun tidak terlalu persis. Ketiga, pemilik uang juga menanggung resiko uang tidak kembali, dan karena itu, maka bank perlu memperhitungkan, demi keamanan pemilik modal. Agar bisa dipercaya untuk menyimpan uang masyarakat.
2.         Cara Pengembangan Uang Yang Tidak Mengandung Riba
            Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Menurut Antonio (2000) dikatakan, perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing, yaitu:
a.         Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, peroleh kembaliannya(return) tidak pasti dan tidak tetap.
b.         Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif dan tetap.
            Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendoronb umatnya untuk melakukan investasi dan membungakan uang. Oleh karena itu, upaya untuk memutar uang dalam investasi, sehingga mendatangkan return merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan.
            Inti mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya terletak pada kerjasama yang baik antara shahibul mal dengan mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu: produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau ekonomi islam adalah qirad atau mudharabah. Qirad atau mudharabah adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksana unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui qirad atau mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari proyek ekonomi yang disepakati bersama.

            Melalui kerjasama ekonomi akan terbangun pemerataan dan kebersamaan. Fungsi-fungsi diatas menunjukan bahwa melalui bagi hasil akan menciptakan suatu tatanan ekonomi yang lebih merata. Implikasi dari kerjasama yang dilakukan dalam bidang ekonomi ini adalah aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama dibidang ekonomi, kepentingan negara, dan kesejahteraan rakyat.
            Ajaran islam mendorong pemeluknya untuk selalu menginfestasikan tabungannya. Disamping itu dalam melakukan infestasi tidak menuntut secara pasti akan hasil yang akan datang. Hasil infestasi dimasa mendatang sangat dipengaruhi banyak faktor, baik faktor yang dapat diprediksi atau tidak. Contoh faktornya adalah berapa banyaknya modal; berapa nisbah yang disepakati; berapa kali modal yang dapat diputar. Contok faktor efeknya yang tidak dapat dihitung pasti sesuai dengan kejadian adalah return (perolehan usaha). Berdasarkan pemaparan diatas maka mekanisme investasi menurut Islam, persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak dapat diterima. Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa islam. Hubungan formula tersebut digambarkan sebagai berikut:
Y=(QR)vW
Dimana
Y= Pendapatan
Q= Nisbah bagi hasil
R= Return usaha
v= Tingkat pemanfaatan harta
W= Harta yang ditabung
Formula ini, dapat diterapkan sebagai pengganti formula time value of money. Karena formula ini tidak menggunakan mekanisme bunga akan tetapi mekanisme formula ini menggunakan bagi hasil dan return usaha yang terjadi riil. Dengan formula tersebut yang memberikan nilai ekonomi adalah pemanfaatan waktu yang ada. Sehingga didalam islam yang ada hanyalah economic value of time bukan time value of money.
3.         Efek Pengenaan Riba Pada Pertumbuhan Ekonomi, Ukuran Kesejhteraan Dalam Islam
Dapat Kita lihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban membayar zakat. Pembayaran zakat disamping sebagai tolak ukur ketakwaan umat islam pada ajaran agamanya juga menjadi tolak ukur kesejahteraan umat muslim. Semakin banyak yang membayar zakat, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Melalui zakat (wakaf) dapat dicapai memenuhi kebutuhan publik.
            Kalau dicermati salah satu ayat Al-Quran surat Al-baqarah ayat 76 menunjukan suatu kondisi huungan terbalik anatara infak zakat (voluntary duties) dengan riba. Allah menegaskan dalam ayat tersebut “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”. Ayat ini mengindikasikan fungsi hubungan terbalik yang berakibat dari dua variabel tersebut yaitu: infak, zakat atau shodaqoh dengan riba. Secara fungsi dapat dilukiskan sebagai berikut:
Infaq = f(riba)
Fungsi ini menunjukan semakin besar riba semakin kecil infaq, sebaliknya semakin kecil riba semakin besar infaq. Dalam suatu masyarakat dimana riba telah begitu meraja lela maka tingkat infaqnya akan kecil, bahkan kadang kala orang berusaha menghindar untuk membayar zakat yang memang kewajibannya.

BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
            Penerapan riba dalam segala aspek muamalah sangatlah tidak baik. Tapi ada cara lain yang dapat kita lakukan agar tidak terkena riba dalam pengelolaan uang yaitu dengan cara investasi.

B.        Saran
            Jauhilah riba apapun keadaan yang kita alami karena disitu kita bisa meminimalisir segala dampak kerugian dan mellaksanakan perintah Allah untuk menjauhi riba terutama dalam pengelolaan uang
           









DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M Syafe’i., dkk. 2006. Bank syariah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (Edisi Kedua). Yogyakarta: EKONISIA
Karim, Adiwarman A. 2005. Islamic Banking. Jakarta: RAJAWALI PRESS.
Muhammad. 2013. Akuntansi Syari’ah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Yaya, Rizal., Aji Erlangga., dkk. 2016. Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan praktik kontemporer. Jakarta: SALEMBA EMPAT.
Hardini, Isriani dan Muh H Giharto. 2012. Kamus Perbankan Syariah. Bandung: KIBLAT BUKU UTAMA
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: CV PUSTAKA SETIA

Komentar

Postingan Populer

Keutamaan Taubat: Tanqihul Qaul

Keutamaan Nikah: Tanqihul Qaul

Fawatih As-suwar